Gay & Lesbian ternyata tidak bisa disebut sebagai penyakit kejiwaan. Namun lebih cocok disebut sebagai gangguan yang lebih menggambarkan kondisi mental. Cara penyembuhan gay dan lesbi adalah dengan cara Psikoterapi. Namun cara penyembuhan ini tergantung latar belakang dari si kaum homo/ lesbi tersebut. Berikut ini wawancara kami dengan Kristianto Batuadji, S.Psi., M.A Dosen Psikologi Universitas Surabaya.
Menurut penelitian American Psychological Association, gay itu bukanlah penyakit kejiwaan/ emosional, melainkan sebuah pilihan penyimpangan seksual. Menurut Pak Kristian?
Saya kurang setuju dengan istilah penyakit kejiwaan. Istilah "psychological disorder" apabila diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, menjadi "gangguan jiwa", bukan "penyakit jiwa". Dalam hal ini, dibedakan antara "disorder" (gangguan) dengan "disease" (penyakit). Pengertian disease lebih mengarah pada penyakit fisik, sedangkan disorder digunakan untuk menggambarkan kondisi mental.
Pada edisi keempat, buku pedoman diagnosis gangguan jiwa di Amerika yang disebut Diagnostic and Statistical Manual (DSM) sudah tidak lagi menggolongkan homosekualitas sebagai gangguan jiwa. Menurut saya, pertimbangan American Psychological Association (APA) menetapkan homoseksualitas bukan sebagai gangguan jiwa sangat beralasan.
Suatu kondisi mental dapat dikatakan sebagai gangguan, bukan karna didasarkan pada faktor statistik seperti yang sudah saya jelaskan di artikel sebelumnya. Kondisi mental tertentu dapat dikatakan sebagai gangguan, apabila kondisi mental tersebut memunculkan perilaku yang mengganggu lingkungan.
Jadi, jika seorang gay atau lesbian menjalani kehidupan seksual dengan sesama gay/lesbian tanpa mengganggu orang lain, hal ini tidak dapat dikatakan sebagai suatu gangguan, melainkan hanya dipandang sebagai perbedaan orientasi seksual semata-mata.
Tetapi apabila ia mulai menjadikan orang-orang heteroseksual sebagai objek pelampiasan nafsu seksualnya, hal ini dapat dikatakan mengganggu. Sekalipun demikian, perlu saya garisbawahi bahwa hal ini hanya berlaku dalam konteks peradaban barat, khususnya masyarakat Amerika.
Dalam konteks Asia, kita perlu mempertimbangkan faktor-faktor sosio-kultural yang mempengaruhi penilaian normal-abnormal terhadap perilaku tertentu. Faktor-faktor sosio-kultural tersebut misalnya budaya dan agama, yang sangat kecil pengaruhnya dalam masyarakat sekuler seperti di Amerika, sehingga kita tidak bisa langsung mengadopsi kriteria DSM dalam konteks Indonesia, untuk kasus gay dan lesbian ini.
Tapi, hal ini bukan berarti suatu alasan pembenaran untuk mendiskreditkan kaum gay/lesbian, apalagi serta merta menggunakan dogma-dogma agama untuk memfatwa mereka sebagai orang berdosa. Saya kira hal ini tidak mendatangkan manfaat apa-apa, bahkan bisa mendatangkan kerugian bagi mereka.
Menurut Pak Kristian, apakah gay/ lesbi itu bisa disembuhkan? Bagaimana caranya? (secara psikis)
Jika kita menggunakan istilah "sembuh", artinya kita terjebak pada paradigma bahwa homoseksualitas adalah suatu penyakit (disease). Padahal seperti telah saya jelaskan sebelumnya, bahwa homoseksualitas bukanlah suatu penyakit. Pada konteks tertentu, homoseksualitas dapat dikatakan sebagai gangguan (disorder), namun pada konteks lain tidak demikian. Jadi menurut saya, yang paling tepat bukan usaha "penyembuhan", tetapi lebih pada "pemulihan", jika hal itu dipandang sebagai gangguan.
Beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa belum ada psikoterapi yang sungguh-sungguh efektif untuk mengubah orientasi seksual seseorang. Menurut saya, psikoterapi memang tidak efektif untuk mengubah orientasi seksual, tetapi psikoterapi dapat memulihkan orientasi seksual.
Psikoterapi juga bermanfaat untuk memulihkan kepercayaan diri dan harga diri kaum homoseksual yang terenggut dari mereka, akibat perlakuan masyarakat yang memarginalkan dan mendeskrsditkan mereka. Usaha pemulihan pasti dapat dilakukan. Tapi, kita perlu membedakan, apanya yang perlu kita pulihkan. Kepercayaan diri dan harga diri mereka saja, atau sekaligus orientasi seksualnya juga?
Ketika seorang sahabat dengan orientasi seksual menyimpang datang pada saya. Pertama-tama saya akan menanyakan, apa yang ia harapkan dari saya? Biasanya mereka mengaku merasa tidak nyaman dengan kondisinya, dan menginginkan agar saya menjadikan mereka seperti orang-orang kebanyakan.
Tetapi seiring dengan berjalannya waktu, sebagian dari mereka ada yang kemudian mengakui bahwa sesungguhnya mereka merasa nyaman dengan kondisinya saat ini, dan tidak ingin diubah. Mereka hanya butuh dukungan dan penerimaan dari orang-orang sekitar.
Mereka yang ingin dipulihkan orientasi seksualnya, biasanya mengalami perubahaan seksual akibat pengaruh faktor lingkungan, misalnya trauma masa kecil, seperti pengalaman seorang sahabat di Yogyakarta yang saya ceritakan di awal. Memulihkan berarti mengembalikan sesuatu pada kondisi semula. Artinya, yang perlu dipulihkan orientasi seksualnya adalah mereka yang semula heteroseksual, namun berubah menjadi homoseksual karena faktor lingkungan.
Usaha pemulihan dapat dilakukan dengan mengajak mereka untuk berdamai dengan masa lalunya, sehingga mereka dapat menerima pengalaman traumatis yang pernah mereka alami itu sebagai bagian dari masa lalunya. Selanjutnya, secara perlahan-lahan kita dampingi mereka untuk kembali pada orientasi seksualnya yang semula.
Hal ini perlu dilakukan dengan hati-hati dan penuh penerimaan, sehingga mereka jangan sampai merasa berdosa terhadap orientasi seksualnya yang menyimpang. Rasa aman klien perlu ditingkatkan dengan penerimaan tanpa syarat, hanya karena perasaan berdosa. Hal itu menyebabkan mereka tidak percaya diri dan menghargai dirinya sendiri.
Hal ini juga akan membuat mereka merasa terancam dan mencari perlindungan dari kaum homoseksual, sehingga besar kemungkinan usaha pemulihan dapat terganggu oleh pengaruh lingkungan. Kita perlu memberikan lingkungan yang kondusif, sehingga memperkecil kemungkinannya untuk terpengaruh oleh lingkungan yang tidak tepat.
Tapi jika penyebabnya adalah faktor biologis, maka yang diperlukan bukan usaha pemulihan terhadap orientasi seksualnya. Meski gitu, kita tetap saja perlu memulihkan harga diri dan kepercayaan dirinya yang rusak akibat stigma masyarakat. Kita bisa meringankan beban mereka dengan menerima kondisi mereka apa adanya, tidak menghakimi mereka, apalagi dengan embel-embel dosa, dan mengatasnamakan Tuhan.
Penerimaan tanpa syarat ini akan mengembalikan kepercayaan diri dan harga diri mereka, sehingga mereka tetap dapat berfungsi secara optimal dan memberikan sumbangsih bagi kemanusiaan, sekalipun mereka memiliki orientasi seksual yang berbeda.
Gimana guys...apa kamu setuju dengan pernyataan Pak Kristian tentang cara pemulihan gay/ lesbi dengan tidak menghakimi prilaku mereka, namun menerima mereka apa adanya. Sekalipun orientasi seksual gay/ lesbian ada yang dikategorikan latar belakangnya karena gen/ hormon seseorang.
Tulisan Terkait