Ada penelitian yang menyatakan, Gay & Lesbian itu ada karna faktor gen dan hormonal seseorang. Ada juga yang menyatakan, itu karna faktor pengaruh lingkungan. Menurutmu, gay & lesbian itu ada karna faktor apa? Pengen tau, kan? Berikut ini wawancara kami dengan Kristianto Batuadji, S.Psi., M.A Dosen Psikologi Universitas Surabaya.
Berdasarkan data, ada peneltian yang mengatakan bahwa lesbian dan gay itu dikarenakan faktor gen, sedangkan penelitian lainnya mengatakan faktor penentunya adalah lingkungan. Menurut Pak Kristian, faktor penentu gay dan lesbian itu apa?
Secara biologis, faktor-faktor seperti anatomi syaraf dan ketidakseimbangan hormonal dapat berpengaruh terhadap orientasi seksual seseorang. Di lain pihak, orientasi seksual juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan.
Suatu ketika, seorang sahabat datang pada saya. Sebagai seorang perempuan, ia merasa memiliki kecenderungan orientasi seksual yang menyimpang. Setelah saya coba untuk menelusuri masa lalunya, ternyata ia memiliki riwayat pengalaman traumatik dengan ayahnya yang otoriter.
Ketakutannya terhadap figur ayah inilah yang menjadi benih penyimpangan orientasi seksualnya. Selalu timbul kecemasan dalam batinnya, setiap kali hendak menjalin hubungan dengan laki-laki. Lama kelamaan, ketakutannya terhadap laki-laki ini berkembang menjadi ketertarikan erotis terhadap sesama perempuan.
Pada kasus ini, kita dapat melihat bahwa faktor lingkungan lebih berperan dalam membentuk orientasi seksualnya. Akan tetapi, pada beberapa kasus, kita juga menjumpai kecenderungan orientasi seksual menyimpang yang diakibatkan oleh faktor biologis.
Misalnya, ketika seorang laki-laki kelebihan hormon perempuan, maka hal ini dapat mempengaruhi orientasi seksualnya, sehingga memungkinkan ia menjadi biseksual. Jika kondisi ini diikuti dengan kurangnya hormon laki-laki, maka ada kemungkinan ia menjadi homoseksual.
Menurut saya, baik faktor biologis maupun faktor genetik, keduanya berpengaruh dalam penentuan orientasi seksual seseorang. Besar kemungkinan hasil-hasil penelitian kuantitatif yang ditemukan belum mampu memberikan jawaban yang memuaskan. Akibatnya, ada data-data yang saling bertentangan.
Nah, kalo sudah begitu, berarti sudah saatnya bagi kita untuk melakukan tinjauan personal terhadap kasus semacam ini. Artinya, kita tidak lagi mencari kecenderungan umum yang menyebabkan orientasi seksual menyimpang, tetapi lebih pada usaha untuk melakukan penggalian secara kualitatif, mengapa seseorang lebih tertarik secara seksual terhadap mereka yang sejenis, daripada terhadap lawan jenis? Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa faktor penyebab pada tiap individu sangat unik dan sulit digeneralisasi.
Apakah komunitas gay/ lesbi itu dianjurkan? Bukankah itu malah membuat mereka semakin menjadi?
Dalam konteks Indonesia, menurut saya, komunitas gay dan lesbian ini apabila dibina dengan baik, dapat menjadi suatu dukungan sosial bagi kaum gay dan lesbian. Permasalahannya adalah, kita ini hidup di lingkungan masyarakat yang masih belum bisa menerima fenomena homoseksual sebagai suatu hal yang wajar. Akibatnya, kaum gay dan lesbian di Indonesia dan kebanyakan negara di belahan dunia timur mengalami tekanan dari lingkungan sosialnya.
Muncul suatu stigma terhadap kaum gay dan lesbian. Mereka dibuang dan dikucilkan sebagai sampah masyarakat, sehingga mereka hampir-hampir tidak mampu lagi mengembalikan kepercayaan diri (self confidence) dan penghargaan terhadap dirinya sendiri (self esteem). Di sinilah seharusnya peran komunitas-komunitas gay dan lesbian untuk mengambalikan kepercayaan diri dan harga diri mereka, sehingga bisa berkembang secara optimal sebagai pribadi yang berharga di mata Tuhan dan sesama manusia.
Celakanya, masyarakat kita juga masih banyak yang serta merta mengatasnamakan Tuhan dan menggunakan dogma-dogma keagamaan untuk menghakimi mereka. Padahal Kitab Suci telah mengajarkan agar kita tidak menghakimi. Ambil saja contoh ketika Yesus mencegah orang-orang Yahudi melempari seorang pelacur dengan batu. "Barangsiapa merasa dirinya tak berdosa, bolehlah ia melemparkan batu pertama kali!"
Di lain pihak, saya setuju bahwa komunitas ini mungkin saja menjadikan jumlah kaum gay dan lesbian semakin berkembang, apabila mereka menjalankan fungsi secara tidak proporsional. Kembali pada kasus sahabat saya di Yogyakarta yang saya ceritakan di awal. Kecenderungan homoseksualnya semakin menjadi ketika ia bertemu dengan sesama lesbian.
Ketika komunitas gay dan lesbian menjalankan "fungsi misionaris" alias mengadopsi sistem "multi-level marketing". Artinya, komunitas-komunitas ini perlu dibina untuk menjalankan fungsinya secara proporsional, yaitu memberikan dukungan sosial untuk mengembalikan kepercayaan diri dan harga diri kaum gay dan lesbian sebagai kaum minoritas yang tertindas.
Namun ketika komunitas ini beralih fungsi menjadi semacam "Biro Agitasi dan Propaganda" untuk mempromosikan homoseksualitas sebagai suatu gaya hidup, maka ruang gerak mereka perlu dibatasi. Karena hal ini dapat menjadi suatu teror terhadap kaum heteroseks. Perasaan terancam yang dialami kaum heteroseks ini antara lain tergambarkan pada plesetan iklan sabun colek kira-kira sepuluh tahun yang lalu, di mana maskot "secolek OMO" diplesetkan menjadi "dicolek homo".
Jadi, jika menanyakan apakah komunitas-komunitas semacam ini diperlukan, maka jawaban saya adalah "ya", tetapi diperlukan usaha-usaha untuk melakukan pembinaan terhadap kelompok-kelompok tersebut, agar dapat menjalankan fungsinya secara proporsional.
Tulisan Terkait