Aku sudah 15 tahun menjadi janda. Kubesarkan ketiga anak-anakku dengan
tenagaku. Aku harus harus pontang pantng mencari nafkah, agar
anak-anakku bisa terus sekolah. Setelah lima tahun aku sendiri, anak
sulungku Harun mulai bisa membantuku di pasar dan dua adik perempuannya
harus pula kerja keras di rumah, walau mereka masih SMP. Aku banga pada
anak sulungku yang mau membantuku di pasar berjualan. Dia mau bekerja
keras mengangkati barang-barang pelanggan, seperti beras selalu dia
pikul seberat 20 Kg.
Nilai raportnya di sekolah cukup bagus dan kami senang padanya. Aku
kira, dia adalah seorang anajk yang sangat berbakti kepada ibunya yang
sudah janda.
Ketika ayahnya meninggal dunia dia masih kelas 5 SD dan adiknya yang kercil belum sekolah.
Sebagai anak masih kelas 5 SD, aku dan ketiga anak-anakku selalu tidur
sekamar. Terkadang aku membutuhkan Harun untuk mengambil air panas,
untuk menyedu susu anak bungsunya. Harun selalu saja kurang tidur. JIka
hujan, aku selalu mengeloni Harun untuk melepas rinduku pada bapaknya
yang mriip sekali dengan wajahnya.
Aku menolak setiap tawan laki-laki yang mau menikahiku. Terlebih jika
laki-laki itu tidak jelas, mau hidup menompang pula dalam kehidupanku
yang yang aku anggap sudah susah, sementara mereka mengangap aku orang
mampu karena memiliki dua buah kios peninggalan suamiku yang kuusahai
dengan gigih.
Harunmemang suka kolokan. Malam-malam dia suka membuka bajuku dan
menetek. Bila aku larang, dia selalu merengek. Dia tidak malu menetek di
depan adik-adiknya. Lima tahun, dia terus menetek padaku, walau
sebenarnya air tetekku sudah tidak ada. Sampai kelas 3 SMP, dia tidak
bisa tidur, kalau dia tidak menetek.
Saat yang terjadi padaku, setiap kali di menetek, terus terang aku
selalu nafsu, karena usiaku juga masih produktif. Terkadang, jika aku
butuh, aku malah sering menyodorkan pentil tetekku ke mulutnya, kemudian
tanganku meraba-raba klitorisku. Sampai akhirnya aku tertidur pulas,
setelah aku tiba pada puncak klimaksku. Terkadang, Harun justru tertidur
lebih dulu, sebelum aku tiba pada klimaksku, lalu aku memaksanya untuk
kembali mengisap tetekku. Jika dia tidak mau, aku mengancam, kalau
besok-besok aku tidak mengizinkannya menetek lagi.
Lima tahun dia terus menerus menetek, sampai dia kelas 1 SMA. Semakin
lama, cara meneteknya semakin membuatku benar-benar bernafsu. Dia selalu
menetek saat kami nonton TV, ketika adik-adiknya sudah tidur, atau
kalau dia ingin menetek, dia tingalkan kamar tidurnya, lalu datang ke
kamar kami dan langsung saja membuka bajuku dan terus menetek. Setelah
puas menetek, dia kembali ke kamar tidurnya. Malam itu, 10 tahun lalu
tidak demikian.
Kami nonton TV bareng, sampai pukul 01.00, karena ada acara yang
menarik. Sambil menonton, aku menyodorkan tetekku ke mulutnya, karena
aku juga nafsu melihat adegan dalam film yang kami tonton dengan
menggunakan antena parabola, dari Prancis. Mungkin sebuah kesalahan
bagiku, aku membiarkan tangan Harun menepis t anganku, saat aku meraba
klitoris-ku. Tangan Harunlah yang menggantikan rabaan pada klitorisku
dan aku menikmatinya. Aku berada di awang-awang rasanya, karean
tangannya mampu membuatku terbang.
Aku pun sudah tidak duduk di sofa lagi, melainkan aku sudah duduk di
lantai yang beralaskan karpet. Saat itu, tanpa sadar, karena aku sudah
demikian hampir tiba pada orgasmeku. Aku tak ingat lagi bagaimana
kejadiannya, tiba-tiba penis Harun sudah mesuk penuh ke dalam memekku.
Aku mulai dipompanya dari atas dan aku melayaninya, sampai aku orgasme
dan memeluiknya dengan kuat. Saat itu pula Harun melepaskan spermanya
beberapa kali.
Lama kelamaan pelukan kami merenggang. Saat itulah aku sadar, kalau Harun masih berada di atas tubuhku.
"Kenapa kamu perkosa Ibu? Kan aku ibu kandungmu?" kataku setengah berteriak dalam bisikku. Harun tak menjawab.
"Kenapa, Nak?" tanyaku lagi.
"Maafkan Harun Bu. Harun gak sengaja. Harun nafsu sekali. Sudah lama sekali Haruin menginginkannya," katanya ketakutan.
"Tapi...." aku meneteskan air mata.
"Maafkan Harun, Bu..."
Kami pun diam. Kuturunkan kain sarungku untuk menutup kemaluanku. Lalu
aku mengambil celana dalam Harun dan memakaikannya. Saat aku
memakaikannya, aku masih melihat kemaluannya masih basah berlendir.
Aku mematikan TV dan pergi meninggalkannya. Kumasuki kamarku dan dan
kukunci dari dalam. Kulihat kedua putriku tertidur dengan pulas. Aku
teryus menangis, sampai kemudian aku tertidur pulas dan bangun
kesiangan. Aku terbanguin, setelah Harun menggedor kamarku dan aku
membuka pintu. Begitu aku membuka pintu, Harun memelukku dan memohon
maaf atas kejadian tadi malam. Aku diam saja. Harun mengikutiku kemana
saja sampai aku mulutku mengeluarkan kata-kata:"Ya.. sudahlah."
Beberapa hari kami tidak saling tegur sapa. Sepulang dari sekolah dia
langsung ke pasar membantuku. Di pasar dia mengganti pakaiannya. Begitu
dia datang, aku langsung menyiapkan makan siangnya, tanpa bicara
apa-apa. Dia juga makan dalam diamnya dan bekerja dalam diamnya, karena
dia sudah mengetahui apa yang harus dia lakukan sebagai tugas tugas
rutinnya.
Setelah sepuluh hari, dia memasuki kamarku dan membuka bajuku, lalu
menetek. Duh.... bathinku. Harun datang tepat waktu, saat aku demikian
bernafsu malam itu. Tak bisa kutolak perbuatannya, karena entah kenapa
aku benar-benar sangat bernafsu.
"Jangan di sini. Tunggu aku di kamarmu,: bisikku. Harun langsung ke luar
kamar. Kupastikan kedua putriku tertidur pulas, aku pun mendatanginya
ke kamar tidurnya. Langsung kubuka tetekku untuk kusodorkan ke mulutnya.
Harun justru memelukku dan mencium bibirku dan melumatnya. Aku refleks
membalas lumatan bibirnya dan kami saling melumat, dan semuanya
berlangsung demikian saja, dan aku sudah telanjang bulat.
Tetekku menjadi sasarannya dan memekku dielus-elusnya, sampai basah
kuyup. Dan... aku merasakan memekku sudah dipenuhi sebuah benda hangat.
Kami saling berpelukan lalu kami saling jilat, saling gigit dan
segalanya, hingga kami berdua t iba pada pubncak kenikmatan kami. Lalu
kami terkulai, sampai kami dibangunkan oleh adzan subuh. Kami
bersiap-siap memakai pakaian kami dan aku segera kembali ke kamarku.
Sebulan setelah itu, aku ternyata tidak haid. Saat aku periksakan,
hasilnya menyatakan aku sudah hamil tiga minggu. Aku panik. Aku
mendengar cerita-cerita tremanpteman dipasar, sampai aku mengatakan ada
tetanggaku yang hamil sudah t iga minggu, sementara suaminya sedang
mefrantau. Bagaimana mengatsinya. Kasihan tetanggaku, ujarku. Seorangt
teman mengajariku, agar aku membawa sang tetangga ke sebuah ahli
jejamuan. Katanya kalau belum lewat sebulan masih gampang di luncturkan.
Nasihatnya aku turuti, Malam aku minum jamunya, besok siangnya aku haid
selama empoat hari.
Setelah kulaporkan pada temanku bahwa nasihatnya itu manjur, temanku di
pasar menganjurkan agar tetanggu yang aku ceritakan padanya, memakai
susuk KB pada seorang bidan yang dia kenal dan laki-laki selinmgkuhannya
itu memakai kondom jadi aman, sebab keduanya sudah saling menjaga.
Aku memutuskan, aku harus memakai susuk KB dan aku membayarnya kepada
sang bidan. Kemudian aku menyediakan sekotak kondom dan memberinya
kepada Harun tanpa penjelasan. Harun ternyata mengerti maksudku.
Setiap hari tak ada lagi pertanyaan atau komenmtar apapun di antara
kami. Jelasnya, kepada dua putriku aku mengatakan, pintu kamar jangan
dikunci. Mana tau ada apa-apa, biar Harun abang mereka bisa cepat
membantu. Kedua putriku malah meledekku. Katanya, biar Harun bisa netek,
kapan dia dia mau.
"Hus... sudah... namanya juga sudah kebiasaan, jadi susah merobahnya,"
kataku dan mereka dapat menerimanya, walau seoprang putriku sudah kelas 3
SMP.
Harun juga tak pernah mengunci pintu kamarnya. Yang paling membuatku
senang, dia sama sepertiku. Tidur hanya memakai kain sarung tanpa pakai
celabna dalam. Jika aku membutuhkannya, aku gampang saja mengungkap kain
sarungnya, kemudian mengulumn kemaluannya sampai tegak berdiri, Jika
dia tak bangun juga setelah penisnya mengeras, aku yang menaiki
tubuhnya.
Sebenyanya dalam usianya ke 39 tahun aku sadar kalau sudah menua. Tapi
di sisi lain, kenapa justru pada usiaku seperti ini, nafsuku justru
meledak-ledak. Apakah karena aku sangat percaya pada anakku sendiri,
atau apakah karena aku sangat menyayanginya ataukah aku yang tak mampu
membendung nafsuku yang berlebihan.
Sebaliknya Harun sendiri selalu saja tak pernah menolak, bila aku
membutuhkannya. Pernah suatu kali, di kios kami, Karena sepi pembeli,
Harun tertidur di lantai di bawah meja-meja yang kami buat. DImana di
atas meja-meja itu, terbentang barang dagangan dan biasanya aku duduk di
lantai menunggui pembeli. Tiba-tiba nafsuku membuncah dan kemaluanku
cenat-cenun ingin disetubuhi. Kuraba penis anakku dan kuraba-raba sampai
mengeras. Harun menurunkan celananya, sampai kontolnya keluar dari
celana. Saat itu, aku melepaskan celana dalamku dan aku beruntung,
karena memakai rok kembang.
Cepat kunaiki tubuh anakku dan menuntun kontolnya memasuki memekku.
Setelah masuk, tiba-tiba pembeli datang membeli sabun mandi dan aku
layani, sementara kontol Harun berada di dalam memekku. Kemudian aku
harus melayani pembeli yang meminta kacang hijau dua kilogram. Aku
terpaksa berdiri menimbangnya. Saat itu, aku merasa sangat tersiksa
sekali dan aku melayaninya dengan cepat dan mengembalikan uangnya.
Setelah dia pergi cenut-cenut di memekku tak mampu kubendung dan aku
kembali ke tempat semula dan menangkap kontol Harun dan menuntunnya ke
dalam memekku.
Kutekan jauh kontol itu memasuki lubangku. Saat orang sepi cepat
kuputar-putar pinggullku sembari melihat ke sekeliling, kemudian aku
orgasme, sampai memekku demikian basahnya. Harun justru belum orgasme.
Dia menahan tubuhku dan aku memberi peluang beberapa centi, hingga dia
mampu menusuk-nusuk memekku dari bawah, sampoai akhirnya dia menarik
tubuhku rapat ke bawah dan dia melepaskan spermanya.
Aku bangkit dan Harun memperbaiki celanaya, kemudian di pergi ke toilet
umum, sedang aku melapnya pakai tissu. Setelah Harun kembali, baru aku
ke toilet umum. Keadaan seperti biasa saja. Kami hanya saling melempar
senyum puas saja. Senyuj yang tak mungkin bisa diketahui oleh orang lain
maknanya.
* * *
Setelah sekian tahun kami lakukan, pada sabtu malam aku bertanya, apa
tak ingin bermalam minggu seperti teman-teman? Harun balik bertanya,
apakah dia boleh pergi? Kataku silahkan, asal jangan pulang larut malam.
Harubn pun pergi dengan mengenderai sepeda motor bebek barunya. Aku
gelisah. Tak tau apa yang kugelisahkan, begitu melihat jam sudah pukul
24.00. Aku terus menunggu Harun di depan televisi. Pukul 24. 15 aku
mendengar sepeda motornya memasuki teras rumah dan aku cepat membuka
pintu. Aku merah dalam hjatiku, karena Harun lama sekali baru pulang.
"Kenapa kami lama sekali pulangnya?"
"Cerita-cerita sama teman setelah pulang nonton film," jawabnya sekenanya.
"Kamu pasti bawa cewek ya?" kataku. Aku sangat cemburu sekali. Aku yakin
dia sudah punya pacaran karean sudah setahun dia menjadi mahasiswa.
Harun menatapku dengan tajam.
"Mana mungkin aku pacaran, Bu. Kan aku sudah punya pacar," katanya
dingin. Akau semakin cemburu. Kutangkap dia dan bertanya siapa pacarnya.
Kemarahanku membuat dia berbisik di telingaku.
"Kan ibu sendiri pacarku. Mana ada yang lain," katanya. Darahku langsung berubah dingin. Dia tersnyum manis meluluhkan hatiku.
"Apakah kamu serius, kalau aku ini pacarmu, bukan ibumu?" tanyaku melunak.
"Kedua-duanya. Pacarku dan ibuku juga. Mungkin sudah menjadi isteriku,"
jawanya tegas. Aku tersenyum dan memeluknya. Dia balas memelukku,
menciumku, akhirnya kami ke kamarnya dan melakukan persetubuhan.
* * *
Setelah dilantik jadi sarjana beberapa tahun, kedua adik-adiknya pun
sudah menikah. Sibungsu malah tak sempat kuliah. Begitu lulus uajian
kelas tiga, dia langsung dilamar. Mereka berdua sudah diboyong oleh
suaminya, bahkan kota kami berjarak ratusan kilometer. Aku sudah berusia
53 tahun. Harun tak menikah-menikah juga. Egoiskah aku. Suatu malam,
aku bertanya padanya, apa tak punya rencana menikah? Katanya dia tidak
akan menikah, karena dia yakin dia tidak akan menemui perempuan sebaik
dan secantik aku serta sehebat aku. Aku terenyuh juga mendengarnya.
"Aku kan sudah tua. Apa kamu tidak ingin yang lebih muda, yang lebih
kencang dan lebih segala-galanya," kataku. Harun marah besar. Aku
berusaha menyadarkannya, agar dia realistis saja, kalayu semua tubuhku
sudah tidak ketat lagi. Akhuirnya dia maragh lagi dan dia akan buktikan
sesuatu yang mampu membuatnya betah, asal aku mau mengikutinya. Mana
mungkin aku menolak keinginannya.
Haru mengajakku bersetubuh. Dia membawa baby oil. Sebelumnya kami sudah
telanjang bulat dan aku sadar jkalau tubuhku, semuanya sudah kendur. Dia
memintya kontolnya aku kulum sampai dia mengeras. Dia suruh aku
menungging, seperti biasanya, dia menusuk memekku dari belakang. Yang
terjadi bukan itu, dia melumuri kontolnya dan melumuri duburku dengan
baby oil. Perlahan aku merasakan ujung kontolnhya menyentuh duburku,
kemudian dia menekannya. Aku merasa sakit. Tapi aku harus menahannya,
demi kebahagiaan Harun. Perlahan tapi pasti, kontolnya memasuki duburku.
Perlahan dia menariknya, kemudian dia mensuknya kembali, demikian
berulang-ulang.
Yang mulanya ada rasa sakit sedikit, lama-lama menjadi sebuah kenikmatan
bagiku, terlebih saat dia menusuk-tarik kontolnya, dia metremas-remas
kedua buah dadakku. Terkadang tangannya mempermainkan klentitku. Makin
lama tusuk tariknya semakin cepat dan aku merasakan semakin nikmat,
kemudian dia merintih dan aku juga berdesis. Kami sama-sama orgasme.
Mungkin tak ada yang opercaya, tapi aku juga tak ingin orang bisa
percaya. Kini usiaku sudah 57 tahun, dan kami masih saja terus
melakukannya dengan Harun. Terkadang aku kasihan padanya, karena dioa
tidak menikah. Tapi terkadang aku mau marah dan mau membunuhnya, bisa
dia terlalu dekat dengan perempuan mana saja, bahkan walau hanya aku tau
dia bebricara basa basi saja. Tatapan mataku, diekathuinya kalau aku
cemburu verat dan Harun pun menjaga dirinya.
Aku sudah tidak memakai syusuk KB lagi, karena aku sudah beberapa tahun
mati haid. Tapi jangan dikira nafsuku tidak ada, malah sebaliknya, aku
merasa nafsu seks ku biasa saja. Mungkin rasa cinta yang membuatku
demikian dan orang selalu mengatakan aku seorang perempuan yang poenuh
semangat hingga susah menjadi tua.
Entahlah !
Tulisan Terkait