Aku mempunyai teman satu angkatan satu jurusan Yoyok namanya, berasal dari kota W. Kami begitu lengketnya, study, ngobrol, jalan ngalor ngidul, ngapelin cewek satupun sering barengnya. Sampai kecewapun sering bareng-bareng. Yoyok orang slengean tapi baik hati itu tinggal dirumah tantenya (yang biasa aku panggil Ibu Hesty) yang hanya punya anak gadis semata wayang. Itupun begitu lulus S1 Manajemen perusahaan langsung dilibas habis kegadisannya sama pacarnya, dalam suatu perkawinan, terus diboyong ke Jakarta.
Tinggallah Ibu Hesty ini sama suaminya yang
pengusaha jasa konstruksi dan trading itu dengan pembantu dan sopir. Kebetulan Yoyok ini keponakan kesayangan. Wajar saja dia suka besar kepala karena jadi tumpahan sayang Ibu Hesty. Sampai suatu saat dia minta tinggal diluar rumah utama yang sebenarnya berlebih kamar, ya si tante nurut saja. Alasan Yoyok biar kalau pulang ngeluyur malam, tidak mengganggu orang rumah karena minta dibukakan pintu.
Ruang yang dia minta dan bangun adalah gudang disebelah garasi mobil. Dengan selera anak mudanya dia atur interior ruangan itu seenak perutnya. Setengah selesai penataan ruang yang akhirnya jadi kamar yang cukup besar itu, sekali lagi Yoyok menawarkan diri agar aku mau tinggal bersamanya. Saat itu Ibu Hesty, hanya senyum-senyum saja. seperti dulu-dulupun aku menolaknya. Gengsi dikitlah, sebab ikut tinggal dirumah Bu Hesty berarti semuanya serba gratis, itu artinya hutang budi, dan artinya lagi : ketergantungan. Biar aku suka pusing mikirin uang kost bulanan, makan sehari-hari atau nyuci pakaian sendiri, sedikitnya dikamar kostku aku seperti manusia merdeka. Lha wong aku bayar!.
Tapi hari itu, entah karena bujukan mereka, atau karena sayangku juga pada mereka dan sebaliknya sayang mereka padaku selama ini. Akhirnya aku terima juga tawaran itu, dengan perjanjian bahwa aku tidak mau serba gratis. Aku maunya bayar, walaupun uang bayaran kostku itu ibarat ngencingin kolam renang buat Bu Hesty yang memang kaya itu. Toh selama ini aku menganggap rumah Bu Hesty ini rumah kostku yang kedua, sebelumnya sering juga aku nginap dan nongkrong hampir setiap hari disini.
Ada satu hal sebenarnya yang ikut juga menghalangiku selama ini menolak tawaran Yoyok atau Bu Hesty untuk tinggal dirumahnya. Entah kenapa aku yang anak muda begini, suka merasakan ada sesuatu yang aneh didada kalau bertatapan, ngobrol, bercanda, diskusi dan berdekatan dengan bu Hesty. Perempuan yang selayaknya jadi tante atau bahkan ibuku itu. Buatku ibu Hesty bukan hanya sosok perempuan cantik atau sedikitnya orang yang melihatnya akan menilai bahwa semasa gadisnya bu Hesty adalah perempuan yang luar biasa. Bukan hanya sekedar bahwa sampai setua itu ibu Hesty masih punya bentuk tubuh yang meliuk-liuk. Senyumnya, dada, pinggang, sampai kepinggulnya suka membuatku susah tidur dan baru lega jika aku beronani membayangkan bersetubuh dengannya. Jika aku beronani tidak cukup kalau cuma ngecret sekali saja.
Gejala apa ini, apakah wajar aku terobsesi sosok perempuan yang tidak hanya sekedar cantik, tapi berintelegensi bagus, penuh kasih dan mature. Buatku secantik apapun perempuan jika tidak punya tiga unsur itu, hambar dalam selera dan pandanganku. Seperti sebuah buku kartun yang tolol dan tidak lucu saja layaknya. Malangnya ibu Hesty memiliki semua itu, dan lebih malangnya lagi aku. Dibawah sadar sering aku diremas-remas iri dan cemburu jika melihat ibu Hesty berbincang mesra atau melayani pak Hendra, suaminya. Begitu telaten dan indah. Gila!. Selama aku tinggal dirumah Bu Hesty itu, pada awalnya semua biasa saja. Perhatian dan sayang Bu Hesty kurasakan tak ada bedanya terhadapku dan Yoyok. Kupikir semua ini naluri keibuannya saja. Tetapi semua itu berjalan hanya sampai kurang lebih 4 hari.
Disuatu malam dari balik jendela kamarku kulihat beberapa kali ibu Hesty keluar masuk rumah dengan gelisah menunggu Pak Hendra yang sampai jam 22.00 belum pulang. Sebentar dia kedalam sebentar keluar lagi, duduk dikursi, memandang kejalan dengan muka gelisah, membalik-balik majalah lalu masuk lagi. Keluar lagi. Kuperhatikan belakangan ini ibu Hesty begitu murung. Ada masalah yang dia sembunyikan. Senyumnya sering kali getir dan terpaksa.
Aku beranjak kekamar mandi untuk kencing. Buku Cerita Dewasa yang sedari tadi membuat kontolku ngaceng kugeletakan dimeja. Tapi begitu aku kembali ternyata bu Hesty sudah duduk dikursi panjang di kamarku memegang buku itu. Aku hanya meringis ketika bu Hesty meledekku membaca buku cerita dewasa yang pas dicerita ah-eh-oh kertasnya aku tekuk. Sesaat setelah kami kehabisan bahan bicara, muka Bu Hesty kembali mendung lagi. Dia berdiri, berjalan kesana sini dengan pelan tanpa suara merapikan apa saja yang dilihatnya berantakan. Sprei tempat tidur, buku-buku, koran, majalah, pakaian kotor dan asbak rokok.Ya maklum kamar bujanganlah. Aku pindah duduk dikursi panjang lantas mematung memperhatikannya. Seperti tanpa kedip. Semua yang dilakukannya adalah keindahan seorang perempuan, seorang ibu.
Setelah selesai, sejenak bu Hesty hanya berdiri, melihat jam didinding lalu menatapku dengan mata yang kosong. Aku coba untuk tersenyum sehangat mungkin. Bu Hesty duduk disampingku. Mukanya yang tetap murung akhirnya membuatku berani bicara mengomentari sikapnya belakangan ini dan bertanya kenapa?. Bu Hesty tersenyum hambar, menggeleng-gelengkan kepala, diam, menunduk, menarik napas dalam dan melepasnya dengan halus. Sunyi. Seperti ingin to the point saja, bu Hesty menceritakan masalah dengan suaminya.
Seperti kampung yang diserbu provokator dan perusuh saja, otakku tercabik-cabik, terbuka.Hubungan bu Hesty dengan suaminya selama ini ternyata semuanya penuh kepura-puraan. Kemesraan mereka semu tak bernurani, bagai sebuah ruangan setengah kosong, dan setengahnya lagi sekedar keterpaksaan pelaksanaan kewajiban saja. Bu Hesty berada didalamnya. Suaminya tahu tapi seperti sengaja membiarkannya memikir, menghadapi dan menyelesaikannya sendiri. Menerima keadaan.
Entah karena kesepian, butuh orang sebagai tumpahan hatinya yang kesal dan rasa disia-siakan. Bu Hesty menceritakan bahwa pak Hendra sudah lama mempunyai istri simpanan disebuah perumahan mewah dipinggir kota. Tak pernah hal ini dia ceritakan kepada siapapun juga kepada anaknya sendiri mbak Clara di Jakarta. Sama dengan kebanyakan istri-istri pejabat yang walaupun tahu suaminya punya simpanan perempuan, bu Hesty hanya bisa menahan hati. Konon katanya, justru sebenarnya banyak istri pejabat yang malah mencarikan perempuan khusus untuk dijadikan simpanan suaminya sendiri, demi keamanan nama baik” dan jabatan. Biar sisuami tidak asal hantam dan makan sembarang wanita. Toh, Istri tahu atau tidak, terima atau tidak, si suaminya dengan jabatan, uang dan kelelakiannya dapat melakukan apa saja pada perempuan-perempuan yang mau. Semua itu seperti permaisuri yang mencarikan selir untuk suaminya sendiri.
“Dia ingin punya anak laki-laki Win (Win nama palsu gua, mau yang asli tanya dukun santet!)” Begitu ucap Bu Hesty malam itu. Matanya mulai berkaca-kaca. Dulu bu Hesty memang suka bercerita betapa inginnya dia punya anak laki-laki yang banyak. Dia suka menyesali diri kenapa Tuhan hanya memberinya satu anak saja. “Apakah itu alasan yang wajar Win” Ucapnya lagi. Kedua tanganya memegang tangan kananku dan matanya yang memelas lurus menatapku. Seolah meminta dukungan bahwa kelakuan Pak Hendra salah. Aku bingung. Mau ngomong apa, seribu kata aduk-adukan diotak hingga aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Diluar dugaanku, tangis bu Hesty malah meledak tertahan. Dia jatuhkan mukanya kepundak kiriku. Aku bingung, tapi naluri lelakiku berkata dia teraniaya dan butuh perlindungan, hingga akhirnya tanganku begitu saja merengkuhnya. Bu Hesty malah membenamkan wajahnya kedadaku. Aku elus-elus punggungnya dan dengan pipiku kugesek-gesek rambutnya agar dia tenang. Kucium wangi parfum dari tubuh dan rambutnya.
Sesaat rasanya, sampai akhirnya Bu Hesty menarik mukanya dan memandangiku dengan senyumnya yang gusar. Aku ikut tersenyum. Ada malu, ada rasa bersalah, ada pertanyaan ada kehausan dimata Bu Hesty, dan ada yang menyesakan dadanya. Entah rasa sayang atau sekedar untuk menetralisir hatinya, aku usap air matanya dengan jariku. Bu Hesty hanya diam setengah bengong menatapku. Hening. Sepi.
“Ibu bahagia sekali win kamu mau tinggal disini. Entah bagaimana rasanya rumah ini kalau tak ada kamu dan Yoyok. Sepi. Tidak ada lagi yang bisa diharapkan. Mungkin ibu bisa mati ngenes dirumah sebesar ini” Ucap Bu Hesty pelan tertunduk murung.
“Kenapa ibu baru menceritakannya sekarang?” Ucapku. “Untuk apa?” Ucap bu Hesty menggeleng-geleng. “Setidaknya beban ibu dapat berkurang” “Buat ibu cukup melihat kamu dan Yoyok ceria dan bahagia dirumah ini. Kalianlah yang justru membuat ibu betah dirumah. Untuk apa ibu harus mengurangi semua itu dengan masalah ibu. Ibu sayang pada kalian”Ucap Bu Hesty sambil memegang jari tanganku. Aku membalasnya dengan meremas jari jemarinya pelan. “Kamu sayang pada ibu kan win? Tanya Bu Hesty menatapku. Aku menggangguk tersenyum. Bu Hesty tersenyum bahagia. Lalu entah kenapa aku nekat begitu saja mendekatkan mukaku, mencium kening dan pipinya dengan lembut. Kulihat wajah Bu Hesty yang surprise tapi diam saja.
“Bu Hesty marah?” tanyaku. Dia menggeleng-geleng dan malah balas menciumku, menyenderkan kepalanya miring dipundakku dan melingkarkan tangan kanannya dipinggangku. Kupeluk dia. Lama sekali rasanya kami saling berdiam diri. Tapi aku merasakan kedamaian yang luar biasa. Sampai akhirnya suara motor Yoyok yang katanya habis diskusi dikelompok studinya tiba dan suara pintu gerbang terbuka.
Sejak kejadian malam itu hubunganku dengan Bu Hesty jadi kian aneh. Mungkin awalnya hanya sekedar memperlihatkan rasa sayang dan cinta layaknya seorang anak pada ibunya dan sebaliknya. Walau dengan diam-diam disetiap kesempatan yang ada kami saling tidak menyembunyikan semua itu. Bertatapan dengan mesra, bercanda dan saling memperhatikan lebih dari dulu-dulu.
Tapi seperti air yang tak diatur, semua mengalir begitu saja. Kian lama bu Hesty dan aku berani saling mencium. Cium sayang dan lembut disetiap kesempatan yang ada tanpa seisi rumah tahu Tapi kegalauan dihatiku tetap saja tak dapat kuingkari. Sering aku bertanya sendiri : sayangku, cintaku, ciumanku dan pelukanku pada Bu Hesty apakah manifestasi seorang anak pada sosok ibunya, atau seorang lelaki pada seorang perempuan. Hati dan otakku setiap hari dililit pertanyaan sialan itu. Begitu menjengkelkan.
Semua itu berjalan sampai tak dapat kuingkari bahwa birahi selalu mengikutiku jika aku berdekatan dan mencium Bu Hesty. Selama ini aku berusaha menekannya. Tapi itu meledak disuatu sore yang sepi.
Semula aku hanya ingin meminjam koran yang biasanya tergeletak diruang keluarga rumah utama. Tapi saat kulihat Bu Hesty tengah berdiri menikmati ikan-ikan hias aquariumnya. Tiba-tiba aku ingin menggodanya. Aku berjingkat perlahan dan menutup kedua matanya dengan tanganku dari belakang. Ibu Hesty kaget berusaha melepaskan tanganku. Aku menahan tawa tetap menutup matanya. Tapi akhirnya Bu Hesty mengenaliku juga. Kukendorkan tanganku.
“Wiiiinnn kamu bikin kaget ibu saja akh..” Ucap Bu Hesty tetap membelakangiku dan menarik kedua tanganku kedepan dadanya. Bu Hesty bersandar didadaku. Kedua tanganku tepat mengenai payudaranya yang kurasakan empuk itu.
Gelora aneh mengalir didarahku. Sementara Bu Hesty terus mengomentari ikan-ikan didalam aquarium, aku justru memperhatikan bulu-bulu lembut dileher jenjangnya Rambutnya yang lurus sebahu saat itu tertarik keatas dan terjepit jepitan rambut, hingga leher bagus itu dapat kunikmati utuh. Aku berdesir. Kurasakan napasku mulai berat. Dengan bibirku akhirnya kukecup leher itu. Bu Hesty merintih kegelian dan mencubit lenganku dengan genit. “Hiiiii. Jangan Wiiinnnn akhhhh…Merinding ibu ah” Dekapan tanganku ditetek dan dadanya makin kuat.
Ketika kuperhatikan dia tidak marah dan tenang maka kuulangi lagi kecupan itu berulang-ulang. Kumis dan bekas cukuran dijanggutku membuatnya geli. Tapi kurasakan tangan Bu Hesty perlahan mencengkram erat dikedua jariku dan dia diam saja. Aku makin bernapsu. Ciuman, kecupan dan hisapan bibirku makin menjadi-jadi keleher dan telinganya. Bu Hesty mendesah memejamkan mata. Kepalanya bergerak-gerak mengikuti cumbuanku. Matanya terpejam dan napasnya menggelora. Kucari bibirnya, karena susah maka kuputar tubuhnya menghadapku dan langsung kusambar dengan bibirku. Kupeluk erat Bu Hesty. Dia menggeliat membalas permainan bibirku. Kedua tangannya memegangi bagian belakang kepalaku seolah takut aku melepaskan ciuman bibirku. Kuremas-remas teteknya dengan tangan kananku. Bu Hesty melepaskan ciumannya lalu merintih-rintih dengan kepala terdongak kebelakang seolah memberikan lehernya untukku. Dengan bibirku langsung kuciumi leher itu. Tapi tiba-tiba Bu Hesty setengah menghentakan badanku seperti tengah bangun dari mimpi dan shock dia berkata : “Ya Tuhan, Wiiinnn …apa yang kita lakukan?”
Bu Hesty menjauhiku dan menempelkan kepalanya kedinding menahan hati. Akupun bisu. Hening. lama sekali. Aku kian gelisah. Aku ingin keadaan itu berakhir. Aku dekati bu Hesty, memeluknya lagi. Kata-kata cinta meluncur begitu saja dari mulutku. Semua itu membuat bu Hesty bingung. Menggeleng-gelengkan kepalanya dan berlari masuk kekamar menahan tangis.
Beberapa hari sejak kejadian itu Bu Hesty tidak menyapaku Dia selalu berusaha menghindariku. Aku bingung, aku takut dia marah. Aku takut dia menolak cintaku. Aku takut gila, mencintai ibu kost sendiri, istri orang dan perempuan yang jauh lebih tua dariku. Ditolak pula. Bah!. Aku mulai murung. Tapi itu hanya lebih kurang dua minggu. Hanya sampai pada suatu malam, bulan jatuh dipelukanku saat Bu Hesty lembut menyapaku dan tanpa bicara sepatah katapun menciumiku. Bah!. Sedari dulu juga, jika dibalik ke”mature”annya sesekali kulihat kerling genitnya, adalah bukti bahwa sebenarnya sudah lama aku tak bertepuk sebelah tangan. Tapi Bu Hesty takut bicara tentang cinta, bahwa dia sayang, merindukan dan membutuhkanku adalah iya.
Selanjutnya kami selalu berusaha bersikap wajar didepan seisi rumah maupun tetangga. Satu hal yang pasti bahwa kami bisa dengan bebas saling bercerita tentang apa saja. Termasuk kebiasaanku beronani dengan membayangkan bersetubuh dengannya yang membuatnya tertawa terpingkal-pingkal. Sebaliknya dari bu Hesty aku tahu, bahwa suaminya pak Sd itu aneh, diranjang bertempur tidak pernah menang tapi malah punya simpanan. Untuk mencapai orgasme jika bersetubuh dengan suaminya dia sering membayangkan bersetubuh denganku. Gila.
Kami terus mengalir tanpa halangan yang berarti. Maksudku tanpa tindak-tanduk yang dapat menimbulkan kecurigaan orang seisi rumah maupun tetangga. Sampai suatu hari Pak Rudi tetangga kami yang tinggal 6 rumah dari kami melangsungkan pernikahan anaknya. Seharian itu aku dirundung napsu dan cemburu. Seperti biasanya jika dilingkungan perumahan itu ada pernikahan maka Pak Hendra dan Bu Hesty akan menjadi penerima tamu. Pak Hendra akan berbaju beskap, berjarik, blangkon dan berkeris. Bu Hesty akan berkebaya, berjarik dan berselendang dengan rambut konde yang rapi. Bu Hesty sendiri tahu bahwa dengan pakaian seperti itulah seringkali aku mengungkapkan kekagumanku atas kecantikan dan sex apple yang ditimbulkannya.
Rasanya aku gelisah terus melihat kesintalan tubuh Bu Hesty yang terlilit pakaian adat jawa yang ketat itu. Jika berjalan pinggulnya bergoyang-goyang mengundang sensasi. Beberapakali kutebar pandanganku berkeliling, selalu saja kulihat ada mata tamu pria entah muda, entah tua ada yang tengah melirik atau memperhatikannya. Semua itu membuatku pingin marah saja rasanya.
Tetapi sebelum seremoni perkawinan itu usai tiba-tiba pembantu Bu Hesty, yang biasanya aku panggil mbak Suti datang mengabarkan bahwa barusan dia terima telepon dirumah yang mengabarkan adik Pak Hendra yang tinggal di kota P mengalami kecelakaan lalu lintas. Pak Hendra, Bu Hesty, Yoyok, Mbak Suti dan aku akhirnya pamit pulang duluan pada pak Falcon.
Sampai dirumah, Pak Hendra dan Ibu Hesty menelepon balik ke kota P melakukakn konfirmasi berita. Adik pak Hendra bersama Dorti anaknyalah yang mengalami kecelakaan. Mobilnya tertabrak bis antar kota yang selip. Dua-duanya masuk UGD rumah sakit dan Pak Hendra sebagai anak tertua dikeluarganya diminta datang. Teman sekamarku Yoyok sendiri ingin ikut nengok. Yoyok naksir berat pada Dorti, pernah menyatakan cinta dua kali. Tapi dua kali pula Dorti menolak. Sementara Ibu Hesty sendiri harus tetap tinggal karena besok pagi ada tim BPKP dari Jakarta yang akan datang melakukan audit dikantornya. Ibu Hesty key person yang harus ada.
Pak Hendra dan Yoyok berangkat ke kota P dengan mobilnya dan akan mampir kerumah pak Sarmin supirnya dulu untuk diajak berangkat. Aku, Bu Hesty dan Mbak Suti ngobrol sebentar membicarakan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada adik pak Hendra dan anaknya. Sampai mbak Suti menguap beberapa kali. Selama ngobrol tak pernah mataku lepas dari busungnya dada Bu Hesty dengan teteknya yang montok dan sedikit terlihat.
Mbak Suti langsung pamit tidur. Tinggallah aku diruang tengah itu, sendiri, melamun. Sekian lama hubungan kami berjalan. Selama ini kami hanya sampai batas berpelukan, berciuman, saling tindih diranjang dengan napas yang menderu-deru dan berujung orgasme tanpa coitus. Entah berapa kali kontolku menekan-nekan dan menggesek-gesek dimemeknya yang basah bercelana. Entah berapakali pejuhku membasahi celana dalamku sendiri dan celana dalam Bu Hesty. Lantas walaupun kontolku belum pernah sekalipun masuk kememeknya, kecuali hanya menggesek-gesek dan aku orgasme, masih perjakakah aku?.
Langkah Bu Hesty terdengar dan terus kupandangi sekujur tubuhnya yang semampai melenggok-lenggok, dari kepala sampai kaki ketika dia berjalan kearahku. Stagen dipinggangnya sudah tak ada hingga perutnya sedikit terlihat. Dadaku berdebar-debar. Berkali kali kutelan ludah.
“Kamu melihat ibu, kaya ibu ini apaan sih?!”ucap Bu Hesty genit mengibaskan tangan kanan dimukaku. “Ibu cantik sekali, makin sexy, sexy sekali berkebaya dan saya terangsang sekali” Ucapku asal saja menunjuk kekontolku. “Hus. Sekali, sekali. Daripada melamun sini pijitin ibu” Ucap Bu Hesty duduk membelakakingiku dan menepuk pundaknya. Aku pijit kedua pundaknya perlahan-lahan. Bu Hesty kadang menggeliat keenakan.
Makin lama pijitanku makin turun, kepunggungnya, ke tulang-tulang rusuknya, kepinggangnya. Tak lama kutarik pundaknya dan kusandarkan punggungnya kedadaku, kutempelkan pipi kananku kepipi kirinya. Lalu kupijit kedua pahanya, kuelus-elus dan kuremas-remas sampai kepinggulnya. Bu Hesty memejamkan matanya. Pijitan bercampur elusan kedua tanganku merambat naik dan berhenti didadanya untuk meremas-remas buah dada yang kurasakan besar dan kenyal itu. Mukaku kugesek-gesekan dirambut dan kondenya, pipinya, dan kukulum-kulum telinganya. Deru napas Bu Hesty mulai tak teratur kadang diselingi desahan halus.
Tangan kanannya mencoba meraih kepalaku, kadang mencengkram lembut rambutku. Telapak tangan kirinya digosok-gosokan kepipi kiriku. Remasan tanganku ke buah dadanya makin liar, mukaku meliuk-liuk menciumi apa saja dikepalanya. Kubuka kancing baju kebayanya. Sembulan sepertiga buah dada dari BHnya indah sekali. Aku makin terangsang. Kontolku yang ngaceng sejak tadi ingin meledak rasanya. Ku tarik baju kebayanya turun kebelakang hingga pundak dan lehernya bebas kuciumi dan jilati. Ibu Hesty mengerang nikmat. Kulingkarkan kedua tanganku memeluknya erat-erat. Bibir Bu Hesty yang setengah terbuka kusambar dengan bibirku dan kukulum habis. Ujung lidah kami beradu, kutelusuri lidahnya sampai seberapa jauh dapat masuk, kerongga-rongga mulutnya. Begitu kami bergantian.
Aku dan Bu Hesty mulai tak tahan, kurebahkan dia disofa. Kutelusuri tubuhnya, kuciumi dari muka, dada, perut paha, dan betisnya yang masih dibalut kain jarik. Naik lagi dan kutindih Bu Hesty. Erangannya makin merangsangku. Kubuka ikat pinggangnku.
“Jangan disini sayang. Nanti kalau Suti bangun…..”Tiba-tiba ucap Bu Hesty tak menyelesaikan kalimatnya. Kami berdiri. Bu Hesty melepas resleting celanaku, memasukan tangannya kecelana dalamku dan meremas-remas kontolku yang tegang dengan geregetan. “Heeeemmmmmm” Ucapnya lalu membimbingku masuk kekamarnya berjalan mundur dengan memegang dan menarik kontolku. Itu membuat kami tertawa.
Pintu kamar dikuncinya cepat-cepat. Kubuka bajuku dan Bu Hesty setengah menunduk membuka celanaku lalu mencari kontolku. Begitu dapat langsung dimasukan kemulutnya, dijilati dihisap-hisap, diciumi dan kadang dikocok-kocok dengan tangannya. Yang begini belum pernah dia lakukan. Aliran kenikmatan merambat sampai ubun-ubun kepalaku. Aku memberinya isyarat agar melepaskan kontolku. Aku dipuncak napsu dan ingin memasukan kontolku langsung saja kememeknya, tapi dia menolak. Badanku rasanya makin bergetar dengan tulang yang mau berlepasan dan syaraf-syaraf ditubuhku rasanya kelojotan nikmat. Bu Hesty begitu bernapsu dan nikmat memainkan kontolku dimulutnya
Aku tak tahan dan minta rebahan diranjang. Bu Hesty melepas baju kebayanya. Dengan tetap BH masih didada dan kain jariknya yang belum terlepas, mulutnya langsung mengejar burung pusakaku sampai dua biji telornyapun dia cium, jilat dan hisap.
Aku makin bergelinjang, melayang-layang nikmat. Hingga dipuncaknya, aku tak sempat lagi memberitahunya kalau pejuhku mau keluar. Hingga akkhh…crott…crooot. Crroott. Pejuhku muncrat didalam mulut Bu Hesty. Tapi Bu Hesty justru malah bernapsu, menelannya dan terus menghisap-hisap kontolku sampai bersih, kasat dan ngilu rasanya. Aku terkejut. Bangun terduduk. “Ibu telan?….Apa ibu tidak jijik?”Tanyaku bodoh. Ibu Hesty menggeleng, justru mukanya cerah, kepuasan terpancar diwajahnya. Aneh pikirku. “Orang bilang, meminum air mani perjaka akan membuat perempuan awet muda. Lepas betul atau tidak yang terang ibu sudah mencobanya barusan sayang”Ucap Bu Hesty lalu menciumiku dari muka sampai dadaku, sementara tangan kanannya terus meremas-remas kontolku. “Ayo lagi sayang, ibu pingin kamu puas” Ucap Bu Hesty mesra.
Kontolku yang tadi terkulai karena sudah keluar pejuh dan shock mulai menegang lagi akhirnya. Bu Hesty kembali mengulum dan menghisap-isap kontolku. “Kalau ibu masih pingin, ambil semua pejuh saya “Ucapku Ibu Hesty tersenyum. Kubuka BHnya dan kutarik lilitan kain jariknya. Bu Hesty berdiri untuk memudahkan melepas kain jariknya. Tubuhnya yang telanjang bulat langsung kuterkam, kurebahkan dan kutindih. Dua teteknya yang besar itu kuhisap-hisap putingnya bergantian. Tangan kananku menggosok-gosok memeknya. Kuciumi, kujilati dan kuhisap-hisap semua bagian yang menurut instingku bisa membangkitkan gairahnya. Bibir, lidah, telinga, kuping leher, tetek, perut, pusar, paha, memek, betis sampai ke jari dan telapak kakinya.
Tubuh Bu Hesty bergelinjangan tak karuan dadanya naik-turun kelojotan. Tangan kirinya meremas-meremas teteknya dan tangan kanannya menggosok-gosok memeknya sendiri. Konde rambut Bu Hesty hampir terlepas. Mulutku naik lagi keatas menyusuri betis dan paha hingga akhirnya berhenti dimemeknya. Dengan kedua tanganku kusibak pelan jembutnya. Kulihat belahan memeknya yang memerah berkilat dan bagian dalamnya ada yang berdenyut-denyut. Kuciumi dengan lembut, bahu dimemeknya membuat sensasi yang aneh. Tak pernah ada bahu seperti ini yang pernah kukenal rasanya.
Dengan hidung kugesek-gesek belahan memek Bu Hesty sambil menikmati aroma bahunya. Erangan dan gelinjangan tubuhnya terlihat seperti pemandangan yang indah menggairahkan.
“AaaaKhhhk….Eeeekhhhh…enak sekali sayang. Teruuuuuusss sayang” Rintih Bu Hesty. Kujulurkan lidahku, kujilat sedikit memeknya, ada rasa asin. Lalu dari bawah sampai atas kujulurkan lidahku menjilati belahan memeknya. Begitu seterusnya naik turun sambil melihat reaksi Bu Hesty. “Akkhhh…….Akkkhhhhh…….Akkkhhhhhhhh…E nggh hh” Bu Hesty terus merintih nikmat, tangannya mencari tangan kananku, meremas-remas jariku lalu membawanya ketoketnya. Aku tahu dia ingin yang meremas teteknya adalah tanganku. Begitu kulakukan terus, tangan kananku’ meremas teteknya, mulutku menjilati dan menghisap-hisap memeknya, tangan kiriku mengelus-elus pinggang, paha sampai kebetisnya yang putih mulus dan halus itu.
“Akkkhhhh…sudah sayang…sudah….ayo sekarang sayang ibu sudah tak tahan akkkhhhh….masukan sayang, masukan” Desah bu Hesty mengerang meraih kepalaku agar menghentikan jilatan dimemeknya dan minta dikentot. Tanpa harus mengulangi lagi permintaannya langsung saja aku merangkak naik, menindih tubuh Bu Hesty. Bu Hesty melebarkan pahanya. Kontolku menuju memeknya. Beberapa kali kucoba, memasukan, beberapa kali pula gagal. Aku tak tahu mana yang pas lobangnya, mana yang hanya belahan memek. Tapi tangan Bu Hesty segera membantu, memegang kontolku, membimbing kedepan lobang memeknya lalu berkata “Ya itu sayang…disitu…tekan sayang tekan…disitu… aaakkkhhhh….ayo sayang…ibu tak tahan…ooo..akkkhhhh” Ibu Hesty merintih ketika kontolku yang kutekan masuk seluruhnya kelobang memeknya. Sejenak tubuhku kaku, aku diam saja, aku nervous. Batang kontolku rasanya terjepit oleh dinding memek Bu Hesty yang seperti berdenyut-denyut dan menghisap-hisap. Nikmat luar biasa. Ini yang pertama.
Bu Hesty menggoyang-goyangkan pinggulnya, setengah berputar putar dan kadang naik turun. Kontolku yang tertancap dimemeknya yang setengah becek dibuat seperti mainan yang membuatnya nikmat tak karuan. “Ayo sayang…ayo…bareng-bareng sayang…ibu mau keluar sayang…ayo..ayo…..”Rintih Bu Hesty dengan mata setengah terpejam dan mulutnya yang terus terbuka mendesah-desah dan kian kuat menggoyang goyangkan pinggulnya. Akupun terus mengimbanginya sampai tiba-tiba Bu Hesty seperti terdiam dan kedua tangannya merangkul leherku kuat-kuat dan dari mulutnya keluar desahan panjang : “Aakkkhhhhh……Oukhhhhhhhh….Engkhhhhhh…. ..” Bersamaan dengan rintih kepuasannya, denyutan dan hisapan memek Bu Hesty makin kuat dan nikmat rasanya.
Akupun sudah tak tahan lagi dan ingin agar pejuhku segera keluar. Karenanya kunaik turunkan kontolku, kuputar-putar dan kunaik-turunkan terus hingga akhirnya crooottt…crooootttt.. crroooot…. “Akhhh…………” Bersamaan dengan muncratnya pejuhku dimemeknya, kembali Bu Hesty mendesah nikmat. Napasku memburu, aku lemas sekali rasanya. Sementara Bu Hesty tetap menggoyang-goyangkan pinggulnya dengan pelan dan tangannya mengelus-elus rambutku. Beberapa saat kubiarkan tubuhku menindih tubuh bugil Bu Hesty tanpa tangan atau dengkulku menahan beban badanku. Kontolku tetap menancap dimemeknya. Ketika ingin kucabut Bu Hesty melarangnya. “Jangan sayang, jangan dicabut dulu, biarkan ibu memiliki dan menikmatinya, peluk…peluk…tetap tindihlah ibu sayang. Ibu puas, kamu puas sayang hemmmm?….enak sayang?….” Ucap Bu Hesty sambil terus menciumiku.
Malam itu kami habiskan tidur kelonan diranjang yang biasa Ibu Hesty tidur dan ngentot dengan suaminya. Tapi sejak malam itu dan disetiap kesempatan yang ada kuentot pula Bu Hesty diranjang yang sama. Aku tak perlu lagi hanya beronani dengan membayangkan ngentot dengannya, begitupula Bu Hesty tak perlu lagi hanya sekedar membayangkan ngentot denganku jika ia melayani suaminya. Kami baru ngentot dihotel jika salah satu dari kami sudah tak tahan lagi sementara kesempatan dirumah tak ada. Atau ketika obsesiku kumat untuk ngentot dengan Bu Hesty dalam pakaian kebaya, kain jarik dan berkonde. Ini terkadang aneh, berlama-lama Bu Hesty ke Salon rias, begitu selesai langsung ke Hotel dan kuobok-obok sampai berantakan. (Aneh ya?!.).
Sering pula jika keadaan memungkinkan, Bu Hesty suka menyelinap kekamarku untuk “fast sex“. Sex cepat dengan tetap masih berpakaian. Tandanya Bu Hesty masuk kekamarku sudah tanpa celana dalam dan dipuncak napsu. Ini sering terjadi jika Bu Hesty sedang butuh tapi Pak Hendra tak acuh terus tidur.
Tentang memek Bu Hesty, mungkin itu yang disebut memek empot ayam. Memek yang tak pernah kutemui pada semua perempuan (adik-adik, mbak-mbak, tante-tante dan ibu-ibu rumah tangga yang muda maupun tua) yang pernah kutiduri, sampai hari ini sekalipun diumurku yang 37 tahun.
Tulisan Terkait