kemarin, seseorang pergi—meninggal—di dekat rumah kami. Tetangga dekat, sebelah rumah. Belum terlalu tua, 52 tahun. Masih terlihat gagah dan tampan. Orang kaya. Ia meninggal di dekat rumah kami, di rumah istri pertamanya. Begitulah, dari tahun ke tahun, lelaki yang beristri lebih dari satu, selalu memilih rumah istri pertamanya untuk meninggal.
Ketika kami menjenguk, saya sempat berujar pelan pada istri saya, “Masalah hidup itu urusan Allah, tapi melihat keadaannya, tampaknya beliau tidak lama lagi.” Kemudian saya berangkat kerja. Di perjalanan istri saya mengirim SMS, “Beliau meninggal. Barusan.” Saya balas SMS istri saya dengan mengatakan bahwa saya tidak bisa hadir karena baru saja berangkat ke luar kota, dan mohon menyampaikan salam takziyah kepada keluarganya.
Esok harinya ketika, saya pulang ke rumah, ada yang lain disampaikan oleh istri saya, “Kautahu, istri pertamanya tidak menangis.”
Saya tidak bertanya mengapa. Saya hanya mendengarkan. Sedikit banyak kami mengetahui perjalanan hidup tetangga kami itu. Ada beberapa orang istrinya yang lain di tempat lain. Tiga atau empat. Salah seorang anak perempuan almarhum berbisik pada istri saya, “Saya tidak akan heran, jika suatu hari nanti saya bertemu dengan saudara saya yang lain, dan saya tidak mengenalinya.”
Ini bukan hendak berbicara masalah aib. Saya lebih tertarik merenungi mengapa istri pertamanya tidak menangis. Sementara semua orang tak kuat menahan kepergian itu, termasuk juga istri ketiga almarhum yang juga hadir ketika sang suami itu menghembuskan nafas terakhirnya.
Mungkin karena ia terlalu banyak tersakiti dulu? Perempuan tetaplah perempuan, sekalipun halal bagi seorang lelaki untuk beristrikan sampai dengan empat orang, tetapi jika dilakukan dengan diam-diam, hati siapa yang tak akan nyeri? Begitulah, ini bukan hitungan matematis, tetapi kalkulasi perasaan yang selalu ada dalam setiap orang.
Ketika sedikit demi sedikit kenyataan mengambil sesuatu darinya—dengan cara ditikam (saya tetap beranggapan bahwa seorang lelaki yang akan beristri dua, tetapi tidak pernah memberitahukan kepada istri pertamanya terlebih dahulu, mengompromikan perasaannya, adalah seseorang yang sangat pengecut—walaupun hal itu dibolehkan oleh keyakinan kami), ia akan merasakan kehilangan yang begitu besar dan merasa melewatkan begitu banyak hal akan seseorang yang ia percayai.
Saya jadi mulai sedikit tahu, dengan menimbang-nimbang, bagaimanakah perasaan istri pertamanya itu terhadap dirinya sendiri? Terhadap lingkungannya sekitar dimana ia bersosialisasi?
Seorang anak almarhum yang sebaya dengan saya ternyata berasal dari istri kedua yang tinggal di luar kota. Setelah melahirkan, istri kedua tidak ingin memelihara anak tersebut. Ia kemudian dibawa oleh istri pertama dan dipeliharanya bersama dengan anak-anaknya yang lain. Perlakuan sama, dan kasih sayang yang sama pula—setidaknya diukur dari bagaimana anak itu memperlakukan ibu tirinya, istri pertama ayahnya.
Istri pertama tampaknya memang selalu seperti itu. Selalu menjadi tempat kembali dari suami yang beristri lebih dari dua atau lebih. Pun ketika meninggal dunia. Suami lebih memilih di rumah istri pertama, di mana ia pertama kalinya pula memulai kehidupan.
Tulisan Terkait