Ada kabar terbaru di dunia Internet mengenai SOFA dan PIPA, bagi yang belum tahu silahkan baca...
Penyedia layanan internet populer, mulai dari Google hingga Wikipedia, menolak rancangan undang-undang anti-pembajakan online di AS.
Undang-undang yang dimaksud ada dua, Stop Online Piracy Act (SOPA) dan Protect IP Act (PIPA). Keduanya masih dalam proses legislasi.
Tanpa terlalu jauh membahas detail perundangannya, SOPA dan PIPA agaknya tak hanya berdampak pada situs AS. Justru, target dari RUU tersebut adalah situs yang berada di luar AS.
Lewat RUU tersebut, nantinya situs di luar AS yang dianggap melanggar hak cipta bisa diblokir sepihak.
Pemblokiran sepihak
Ada dua metode blokir. Pertama, penyelenggara jasa internet di AS memblokir domain situs yang melanggar.
Metode pertama ini jadi keberatan banyak pihak dan, menurut PC World, sudah dihilangkan dari rancangan SOPA dan PIPA terbaru.
Metode kedua adalah menghentikan bisnis dari penyedia jasa pembayaran, iklan, dan mesin pencari dari situs yang melanggar.
Salah satu penerapannya, jika ada suatu situs (termasuk di Indonesia) yang dianggap melanggar, maka Google sebagai mesin pencari tak boleh menampilkan situs itu di hasil pencarian.
Contoh lainnya, jika situs yang dianggap melanggar tadi memanfaatkan jasa PayPal untuk pembayaran, atau AdSense untuk iklan, layanan itu juga harus dihentikan.
SOPA lebih garang
SOPA dianggap lebih garang dari PIPA karena mendefinisikan situs yang melanggar sebagai "situs apa pun yang melakukan atau memfasilitasi pelanggaran hak cipta".
Ingat bahwa hak cipta di sini bukan hanya konten bajakan, semisal videoklip musik, lagu, atau software. Ini juga mencakup produk fisik yang dianggap melanggar, misalnya mainan anak-anak versi "kw".
Ini hanya contoh, tetapi mungkin bisa jadi ilustrasi dampak SOPA. Misalnya, di forum jual beli sebuah komunitas terbesar di Indonesia atau toko online terbuka lainnya terdapat penjual produk bajakan.
Lewat SOPA, situs tersebut bisa dilarang berbisnis dengan AS. Dengan demikian, iklan (seperti Google Ads atau lainnya) tak akan muncul di situs tersebut.
Kemudian, pembayaran lewat layanan berbasis AS, misalnya PayPal, juga tak boleh dilakukan lewat situs itu. Situs tersebut juga akan dipaksa tak muncul di pencarian lewat Google.
Skenario itu tentunya bisa berdampak, baik bagi mereka yang menggunakan layanan seperti PayPal di situsnya, maupun yang mendapatkan penghasilan tambahan dari iklan AdSense dan sejenisnya.
Menolak SOPA
Electronic Frontier Foundation (EFF) menolak SOPA dan PIPA. EFF menyebut bahwa RUU tersebut tidak melindungi tuduhan yang salah.
Misalnya sebuah situs dituding melanggar, tetapi terbukti tidak bersalah, tetap saja situs itu akan dirugikan. Mereka tak akan mendapat ganti rugi dari pemblokiran iklan dan layanan pembayaran.
Pada 15 November 2011, Google, Facebook, Twitter, Zynga, eBay, Mozilla, Yahoo, AOL, dan LinkedIn telah menulis surat terbuka kepada anggota Senat dan Dewan AS untuk menentang SOPA.
Ada juga yang mengganggap SOPA sebagai upaya balas dendam "Hollywood" karena tak mampu melawan pembajakan. Padahal, "Hollywood" dkk seharusnya melawan dengan pendekatan bisnis.
"Telah terbukti, cara paling berhasil melawan pembajakan adalah dengan membuat platform yang diinginkan pelanggan, seperti Spotify atau Netflix," tulis Mike Masnick dari TechDirt.
Perang pelobi
Memang harus diakui, pada akhirnya SOPA dan PIPA adalah perang tanding di arena legislasi antara pelobi dari kubu "Hollywood" melawan pelobi dari kubu "Silicon Valley".
Meski demikian, dampaknya pada industri internet/digital di Indonesia tidak bisa diabaikan begitu saja. Jadi, siapa yang akan menang? Kita tunggu saja hasil akhirnya.
(SUMBER:KOMPAS)
Inilah alasan kenapa SOPA-PIPA Tidak Akan Efektif Mengatasi Pembajakan
Peter Pachal, penulis dan jurnalis teknologi, menjelaskan mengenai impilkasi Stop Online Piracy Act (SOPA) dan Protect Intellectual Property Act (PIPA). Ia menganggap SOPA-PIPA belum bisa mencegah pembajakan.
Pembajakan menjadi permasalahan yang sangat nyata. Akan tetapi, implikasi undang-undang dapat melukai industri itu sendiri dengan tingginya tagihan yang dikenakan pada penyedia konten apabila terjadi pembajakan.
Seniman dan pencipta karya yang menghasilkan konten tentu terganggu dengan peredaran bebas karya mereka dan juga adanya pembajakan. "Teman-teman musisi saya sangat khawatir ketika membuat album. Seringkali album belum dirilis, namun lagu mereka sudah muncul di Internet," kata Pachal.
Bahkan, para pembuat film sangat tertekan ketika karya mereka dapat dengan mudah ditemukan di situs-situs file-sharing. Sangat wajar, para seniman menginginkan itu pencegahan terhadap pembajakan.
Pendukung SOPA dan PIPA, seperti halnya Undang-Undang Motion Picture Association of America (MPAA), mengemukakan alasan dibuatnya peraturan tersebut. Undang-undang dibuat karena pembajakan menimbulkan risiko kerja di industri online.
Namun, apabila SOPA-PIPA berlaku, maka akan memaksa situs untuk bertanggung jawab akan adanya pelanggaran. "Ini sangat menyesatkan," kata Pachal.
Tentu haruslah diperjelas dahulu mengenai pembajakan. Ada bisnis bawah tanah yang diuntungkan dari pembajakan dan pelanggaran hak cipta di dunia maya. Namun demikian, bisnis tersebut sebagian tidak berjalan secara online.
Di Hong Kong, Taiwan, dan Cina terdapat peredaran karya musik, film, dan televisi yang dijual seolah-olah seperti produk asli. Di Cina, pemutaran film dilakukan secara bebas sebelum film seharusnya diputar di bioskop. Ini adalah fenomena yang telah berjalan selama 10 tahun.
Industri seperti yang terjadi di Cina tidak akan hilang karena adanya aturan SOPA-PIPA. Distributor ini terorganisir secara rapi dan cukup cerdas secara teknis. Menembus web host dari berbagai negara untuk mendapatkan konten adalah hal sepele bagi mereka.
Bagi sebagian negara yang mendapatkan keuntungan dari pembajakan, aturan penegakan hukum sangatlah lemah. Pembajakan harus diperangi, namun undang-undang tidak perlu dibuat.
Kebanyakan orang membajak atau mengunduh disebabkan sulitnya akses dan aturan hukum pada situs-situs yang legal. "Saya akui, saya membeli lagu-lagu dari iTunes, namun kemudian saya mengunduh dengan kualitas yang lebih bagus di BitTorrent."
Situs layanan iTunes sangat laris karena mudahnya akses mereka dalam menyediakan konten. Daripada memfokuskan pada pembentukan undang-undang, harusnya ada cara lain yang memudahkan masyarakat dalam mendapatkan konten. "Sebaiknya ada inisiatif untuk modernisasi cara distribusi konten," kata Pachal.
SOPA-PIPA tidak dapat bertahan karena tidak semua kasus pembajakan dan pelanggaran dapat tersentuh oleh aturan Amerika Serikat. Bagaimanapun juga, industri dan kebebasan di dunia online memiliki berbagai risiko.
Peraturan Penghentian Pembajakan Online pertama kali diajukan oleh Kongres ke Gedung Parlemen pada 26 Oktober 2011. Aturan dibuat untuk memperluas kemampuan penegak hukum di AS dan pemegang hak cipta dalam melawan perdagangan hak cipta serta kekayaan intelektual melalui media online.
Kontroversi undang-undang terus berlanjut. Sebagai bentuk protes, Wikipedia menutup situs versi Bahasa Inggrisnya pada Rabu, 18 Januari 2012. Gerakan blackout juga diikuti oleh search engine terkemuka, Google yang mem-blackout situsnya selama 24 jam pada hari yang sama.
Sejak awal Google sangat vokal menentang SOPA-PIPA. Perusahaan ini menganggap aturan dapat merusak suasana kondusif di industri online.
SOPA dan PIPA pun Berakhir
Washington - Hanya beberapa jam setelah senator Harry Reid mengumumkan penundaan voting terhadap Undang-Undang Stop Online Piracy Act (SOPA) dan Protect Intellectual Property Act (PIPA), anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Lamar Smith, turut mempertimbangkan penundaan pembuatan undang-undang pendamping.
Lamar Smith adalah pendukung aturan anti-pembajakan tersebut. "Saya mendengar keprihatinan para kritikus, untuk itu saya akan mengambil langkah serius," ujarnya.
Smith mengatakan akan melakukan pendekatan untuk mencari cara mencegah pembajakan di dunia maya. "Komite akan terus bekerja sama dengan pemilik hak cipta dan perusahaan Internet dalam mengembangkan proposal guna melindungi hak kekayaan intelektual warga Amerika."
"Kami menyambut semua organisasi yang memberikan pendapat, sekalipun terdapat perbedaan. Semua ini bertujuan mencari jalan untuk dapat menyelesaikan masalah," ujar Smith menambahkan.
Mantan senator Chris Dodd, yang juga Ketua Motion Picture Association of America (MPAA), tampak mengakui kekalahan aturan SOPA-PIPA. "Dengan adanya penangguhan undang-undang ini, kami berharap akan ada diskusi dalam melindungi jutaan warga Amerika dari tindak pencurian kekayaan intelektual," ujar Dodd.
Tujuan pembuatan SOPA-PIPA akan terus berlanjut. Namun aturan dengan nama tersebut kemungkinan besar segera berakhir.
Figur kunci dari penolakan SOPA-PIPA adalah Darrell Issa dari Partai Republik. Melalui posisinya sebagai Ketua Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat dan Komite Reformasi Pemerintah, ia berencana untuk menghadirkan kesaksian dari pakar teknis mengenai mekanisme yang terjadi di dunia maya.
Issa meminta pakar untuk menjelaskan pemblokiran DNS terkait aturan SOPA. Penjelasan mengenai mekanisme tersebut tidak tertulis secara jelas dalam rancangan undang-undang yang diajukan oleh Smith.
Protes penolakan SOPA-PIPA awalnya dijadwalkan berlangsung saat sidang kesaksian. Namun sidang dibatalkan karena akhirnya Issa menerima jaminan dari DNS untuk tidak melakukan pemblokiran apabila SOPA diberlakukan.
"Para pendukung Internet berhak menyatakan penolakannya terhadap SOPA-PIPA," kata Issa. Menurutnya, sudah dua bulan terakhir ini dukungan terhadap penolakan SOPA-PIPA sudah tak terbendung.
Mungkinkah SOPA Akan Dibahas Dalam Kongres Lagi ?
Kontroversi akan Rancangan Undang-Undang Anti Pembajakan Online (SOPA) dan RUU Perlindungan Properti Intelektual (PIPA) menjadi anti klimaks saat draft aturan ini dicabut. Lamar Smith, anggota Kongres asal Texas yang menjadi pelopor RUU ini, menarik SOPA setelah melihat respon penolakan yang begitu luas.
Tapi apakah ini berarti aturan sejenis SOPA sudah benar-benar mati? SOPA menuai kecaman karena dianggap akan menjadi alat sensor di dunia maya. Karena sebuah situs dapat ditutup hanya karena menyediakan tautan ke situs yang dianggap melakukan aktivitas pembajakan.
Profesor dari Departemen Politik State University of New York (SUNY) Geneseo, Jeffrey Koch, meyakini aturan sejenis SOPA tidak akan muncul dalam beberapa tahun ke depan.
"Ini akan mati dalam beberapa tahun ke depan. Terutama di tahun pemilihan umum (2012), aturan apapun yang menuai kontroversi seperti itu," ucap Koch, seperti dikutip dari laman Mashable.
Lalu bagaimana jika tahun pemilihan telah berlalu, apakah SOPA bisa muncul kembali setelah tahun 2013?
Menurut Koch, memang ada RUU yang kembali diperjuangkan setelah ditarik. Koch mencontohkan UU Kesehatan yang baru saja disahkan di masa pemerintahan Barack Obama tahun 2010. Aturan mengenai kesehatan ini sudah bertahun-tahun diperjuangkan, dan nasibnya 'jatuh-bangun' di Kongres.
"Tentu ini tidak biasa, ada RUU yang diperjuangkan lagi, lagi, dan lagi sepanjang waktu," tutur Koch.
Tapi untuk SOPA, Koch tidak yakin RUU ini mati untuk selamanya. Walau banyak yang menikmati keterbukaan informasi di internet, tapi pembajakan merupakan masalah yang nyata, dan merugikan sejumlah kalangan secara signifikan.
"Saya tidak yakin ini akan hilang semudah itu," tutur Koch.
Koch tidak ingin beropini terhadap substansi RUU SOPA. Tapi Koch sepakat bahwa aturan yang terdapat di SOPA sulit dimengerti dan butuh simplifikasi.
"Aturan itu ditulis dalam bahasa legal yang terlalu teknis," ucap Koch. "Banyak UU yang memang ditulis seperti itu, terutama jika berurusan dengan isu secara teknis. Banyaknya UU seperti ini menjadi sangat teknis, dan isu-isu yang berkembang pun makin kompleks secara teknis," lanjut Koch.
Sebenarnya, ada aturan lain terkait pembajakan online, yang lebih dapat diterima oleh perusahaan internet. Misalnya OPEN, atau Online Protection and Enforcement of Digital Trade, RUU yang diajukan Darrel Issa, anggota Kongres asal California, dari Partai Republik.
Dalam SOPA, terdapat aturan yang memungkinkan Departemen Kehakiman AS untuk meminta polisi menutup situs yang menyediakan tautan ke sejumlah situs yang dianggap memiliki konten pembajakan.
Tapi dalam OPEN, penindakan yang diatur bersifat lebih lunak. Komisi Perdagangan Internasional (International Trade Commision) akan menjadi lembaga yang mengatasi sengketa hukum terkait pembajakan.
Mengutip blog resmi Google, Google pun mendukung OPEN sebagai alternatif pengganti SOPA.
Dampak SOPA & PIPA untuk Indonesia
Jakarta - Sejumlah penggiat layanan internet dunia, seperti Google hingga Wikipedia, tengah kasak-kusuk lantaran keberadaan rancangan Undang-undang Anti Pembajakan Online yang kini tengah digodok di Amerika Serikat. Kedua aturan yang dimaksud adalah Stop Online Piracy Act (SOPA) dan Protect IP Act (PIPA).
Menurut advokat dari Sheyoputra Law Office, Donny A. Sheyoputra, kedua UU itu sejatinya sudah lama disiapkan. Hanya saja, baru ramai dibicarakan sekarang lantaran tengah dalam proses finalisasi. Toh, sejak proses awalnya yakni ketika masih disusun, yang menentang juga banyak.
"Intinya, itu adalah UU yang bertujuan untuk memperkecil peluang pembajakan terutama melalui sektor online atau internet. Masalahnya, sering kali pembajakan lewat internet kan gak disengaja terjadi. Itu membuat sebagian kalangan menentang. SOPA itu lebih ke arah internet piracy dan PIPA lebih sebagai kebijakan umum agar IP ditegakkan," jelasnya.
Dilansir Venture Beat, SOPA dijabarkan nantinya memperbolehkan pemerintah AS dan perusahaan pemegang hak cipta untuk menargetkan situs asing alias dari luar AS yang dianggap melakukan pelanggaran, pembajakan atau pemalsuan kekayaan intelektual.
Contohnya, jika ada website yang dituding memiliki konten ilegal yang melanggar hak cipta (termasuk di antaranya lagu, gambar, video klip, dan lainnya), maka situs tersebut dapat diblokir oleh ISP di AS, tak dicantumkan dari mesin pencarian, dan bahkan dihadang untuk menjalankan bisnis online dengan penyedia jasa pembayaran seperti PayPal.
Tak pelak, melihat berbagai kemungkinan yang bisa dilakukannya, banyak pihak yang mengkhawatirkan implementasi dari UU ini. Sebab secara drastis akan mengubah cara internet beroperasi.
"Kalau terang-terangan jual produk bajakan, jelas cocok dipidana dengan itu. Tapi kalau diterapkan mentah-mentah, maka yang tidak sengaja melanggar pun bisa kena. Misalnya membuat tulisan tetapi lupa menulis sumber kutipannya. Itu bisa menakutkan sehingga Wikipedia termasuk yang protes," imbuh Donny.
"Jadi yang dianggap berbahaya adalah peluang terjadinya penyalahgunaan UU itu terhadap mereka yang sebenarnya tidak sadar melakukan pelanggaran hak cipta karena tidak tahu," lanjutnya.
Ditarik ke Indonesia
Lalu bagaimana dampaknya ke Indonesia? Menurut mantan Kepala Business Software Alliance (BSA) Indonesia ini, imbasnya kemungkinan cuma dirasakan secara tidak langsung. "Misalnya kalau Wikipedia tutup di sana (AS-red.), berarti kita di sini (Indonesia-red.) tidak bisa mengaksesnya kan?" papar Donny.
Ulah dari pemasang iklan yang menawarkan produk atau materi bajakan juga bisa menyeret pemilik situs. Dimana akhirnya penyedia space (pemilik situs) bisa ikut-ikutan dituduh membantu promosi iklan barang bajakan.
"Nah, ini yang tidak adil. Padahal internet adalah dunia maya yang maju sangat pesat, sulit dibendung. Tetapi UU ini memudahkan orang jadi kesandung masalah hukum karena terlalu luas cakupannya," Donny menjelaskan.
Sementara penggiat internet di Indonesia dinilai belum tentu bisa dipidana karena mereka berdomisili di Indonesia. Tetapi kalau mereka di AS dan melakukan pelanggaran hukum di sana, maka UU ini bisa menjerat mereka.
"Kalau ditinjau dari perbedaan sistem hukum kita dan AS, maka sebenarnya kita tidak terlalu terpengaruh dengan UU itu karena berlakunya lebih ke arah AS. Tetapi karena internet tidak ada batasnya, ini menjadi problem tersendiri," pungkasnya.
Perdebatan soal SOPA dan PIPA sendiri di AS sana mengerucut pada dua kubu. Yakni para pendukung aturan ini yang datang dari kalangan industri hiburan dan Chamber Commerce AS. Mereka beragumen, pembajakan telah mengusik bisnis mereka sehingga perlu adanya UU semacam ini.
Sementara di sisi berlawanan ada penggiat layanan internet. Mulai dari Google, Wikipedia, WordPress, hingga Twitter yang dengan lantang menentang.
Tulisan Terkait