Beliau adalah kakak kandung dari istri kedua pamanku. Selisih umur dengan adiknya sekitar 3 tahun, mendekati 50 tahun. Sehari-hari mengajar di sekolah dasar di kota Malang, dengan baju tertutup hingga kepala. Bila di rumah berpakaian seperti ibu-ibu kebanyakan yaitu daster, yang 90% tertutup. Berkulit putih dengan wajah biasa saja, sedikit gemuk. Berkarakter tegas dan sedikit galak. Suaminya sudah tiada 5 tahun kemarin.
Tidak ada yang istimewa setiap kali kami bertemu. Mengobrol juga sekedarnya saja, kedekatannya ngobrol lebih kepada kakakku. Bulan-bulan ini bude sedang puber kedua, sebab bertemu dengan teman lama saat masih pendidikan yang rupanya telah menyimpan benih-benih asmara sejak dulu. Hanya saja baru menyadarinya belakangan ini. Bude sering berkonsultasi dengan ayah dan kakak, juga pada istri pamanku. Mereka menyarankan agar segera saja untuk kawin siri sementara ini, guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Hari itu bude datang ke rumah paman dimana aku kebetulan juga bermaksud menginap karena kangen dengan ponakan-ponakan. Saat itu ponakan-ponakan sedang di kamar, sedang paman dan istrinya tidak di rumah. Bude lalu berkata: “mas Iwan..bude mau mandi dulu ya. Terus tidur sebentar sambil nunggu dik Sih”. “Oh ya bude..monggo (silakan),” jawabku saat sedang membaca buku. Sumpah..tidak terlintas sedikit pun untuk niatan mengintip. Ketika aku melewati kamar mandi selintas ekor mataku menangkap cahaya di lubang kunci pintu..ting tong..that’s mean tidak tertutup. Kembali kulewati kamar mandi dan sengaja kuperhatikan dengan seksama. Ya..lubang kuncinya tidak tertutup. Hatiku berdegup kencang dan perang kalimat pun berseliweran. “Laopo ape mbok inceng..wong wes tuwo. Awake yo rodo lemu (ngapain mau kamu intip, dia udah tua. Badannya juga agak gemuk)”. “Kapan maneh..kesempatan sing bener-bener langka. Paling gak digawe tambahan koleksi nginceng (kapan lagi..kesempatan yang benar-benar langka. Paling nggak buat tambahan koleksi ngintip)”.
Mungkin setan sedang menang undian. Kurapatkan tubuhku dengan pintu kamar mandi tetapi tetap sangat hati-hati untuk tidak bersuara. Sedikit demi sedikit aku berjongkok. Kudekatkan mataku ke lubang kunci, tidak langsung mengintip. Sebab ada kemungkinan bude sedang mengguyur badannya dan secara kebetulan matanya menatap arah pintu maka bisa jadi terlihat sinar mataku. Tidak..posisi bude menghadap tembok yang dibawahnya ada kran dan ember untuk mandi. Jadi sangat aman. Sambil berdoa ponakan-ponakanku tidak mendadak muncul dari kamar. Terlihat paha gempal putih dan sedikit bulatan bokong kirinya. Bude lalu duduk di kursi kecil yang memang disediakan di kamar mandi. Aku menahan napas yang telah megap-megap dan kutarik kepalaku menjauh. Aku mendekatkan kepala kembali dan kuturunkan sedikit pandanganku. Susu bude sebelah kiri terlihat. Sudah turun dengan ukuran lumayan, puting tetap kecil walau telah beranak 3 dan areola yang normal ukurannya.
Bude menggosok leher dengan sabun, lalu turun ke punggung dan kedepan. Diusapnya kedua susu dua kali lalu tangannya turun menggosok bagian bawah tubuhnya. Aku putuskan untuk mengakhiri acara mengintip dengan pertimbangan sudah cukup, terlebih menjaga kemungkinan kedua ponakan jika tiba-tiba keluar kamar. Celanaku membesar di bagian kemaluan dengan tidak kusadari. Terlintas kembali tubuh bude saat aku duduk di sofa kembali membaca buku. Ahh..jadi membayangkan yang tidak-tidak. Kulanjutkan membaca di kamar agar kondisi kemaluan yang masih membesar tidak terlihat oleh bude.
Sekitar pukul 11 siang paman dan istrinya datang. Kemudian aku menyampaikan kabar bahwa ada bude Yayuk. Mereka kemudian berbincang serius juga sering bercanda. Aku tidak ikut dalam pembicaraan karena kupikir itu bukan urusan anak-anak. Biarlah orang dewasa yang merumuskannya. Pembicaraan terhenti sejenak ketika saat makan malam agar anak-anak tidak ikut mendengarkan. Jarum jam berada pada angka sembilan malam. Istri paman: “mbak..aku tak turu sik yo. Wes ngantuk..mulai isuk resik-resik terus riwa riwi. Ben dikancani mas Iwan ae yo. Areke iso sembarang iku..hehehe (mbak..aku mau tidur duluan ya. Sudah ngantuk..sejak pagi bersih-bersih rumah terus kesana sini. Biar ditemani mas Iwan aja ya. Anaknya apa aja bisa..hehehe)”. Aku yang saat itu sedang bersms di sofa langsung terhenti sambil menatap tante Sih serta bude. “Waduh..mbahas opo iki. Jangan-jangan.. (waduh..mereka sedang membahas hal apa nih. Jangan-jangan..)”, pikiranku berkecamuk. Rupanya tante telah bercerita kepada bude bahwa aku sedikit bisa menerawang. “Walah..akhire melok urusan..hmm (walah..akhirnya kesangkut urusan kayak gini juga..hmm)”.
Kami ditinggal berdua di ruang tamu. Aku lalu mendekat agar tidak dikira menjauh atau tidak mau diganggu. “Iya mas..mbok bude dibantu ini.. (iya mas..bude tolong dibantu ini..)”. “Dibantu gimana bude..dibujuki tante. Wong aku gak bisa apa-apa (dibantu gimana bude..ditipu tante itu. Aku nggak bisa apa-apa)”. “Halah gitu..nggak mau mbantu bude ini? (ah gitu deh..nggak mau bantu bude ini?)” “Dik Sih mungkin sudah cerita ke mas Iwan tentang kondisiku sekarang. Mbok aku dibantu biar bisa dekat sama mas Didik”. Sejenak kutarik napas,”emm..gini bude. Bukan aku nggak mau bantu kan udah ada paman sama tante. Udah terlanjur bocor ya mau nggak mau..”, sambil aku tersenyum. “Nah gitu..biar bude ada pemikiran lain kan lebih enak..”, bude tersenyum senang. “Gini bude..biar pak Didik yang lebih tegas. Nggak nggantung kayak sekarang. Maju nggak mundur nggak. Kalo aku lebih baik berhenti sekarang sebelum perasaan sudah melangkah lebih jauh. Jadi temen aja seperti sebelumnya”. “Waduh..lha memang sekarang kita sudah ada perasaan. Terutama dia. Sering sms dan tlp sampe malem”. “Hmm..apalagi udah seperti sekarang bude..”.
Kami lalu terus berbincang dimana aku lebih sering diam dan sesekali menimpali. Bude dalam hal ini termasuk ngeyel (ngotot). Aku memahaminya tetapi jika nanti apa yang aku takutkan terjadi maka aku ikut sedih. Mataku mulai sedikit memerah karena ngantuk ditambah kengeyelan bude. Kulirik jam dinding yang mendekati pukul 12. “Bude nggak ngantuk? Dilanjut besok lagi aja ya..”, terpaksa aku “mengusirnya” dengan bahasa yang halus. Sebab bisa sampai subuh membahas cinta apalagi dalam puber kedua. “Udah ngantuk ya mas? Emm..dilanjut di kamar aja ya..kalo nanti ketiduran ya gak apa-apa..hehe”. “Aduh..piye iki. Ahh..nek ngkok keturon yo wes (aduh..gimana ini. Ahh..kalo sampe ketiduran ya udah)”. “Terserah bude..”. Jret..terlintas kembali bentuk tubuh bude. Kemaluanku membesar dengan pasti. “Mati aku..ujug-ujug ngaceng. Nek bude eruh piye iki..mbuhlah..dipikir ngkok.. (mati aku..tiba-tiba ngaceng. Kalo sampe bude tahu gimana nih..biar dipikir nantilah..)”. Kami lalu menuju kamar tamu yang posisinya sedikit di belakang kamar-kamar lain.
Aku baru sadar bahwa tempat tidur hanya satu, spring bed lebar. Tanpa berkata kuambil selimut lalu kubentangkan di bawah tempat tidur. “Ehh mas ngapain..tidur di atas aja. Wong luas kok. Kalo besok masuk angin bude yang disalahin dik Sih..”. “Engg..iya bude..”, sambil kugaruk-garuk kepala yang jelas tidak gatal. Bude mengambil posisi kiri lalu meletakkan satu guling di tengah-tengah. Pembicaraan kembali dilanjutkan. “Bahkan dia beberapa kali bilang pas nelpon..dik..manukku ngadeg nek pas nelpon awakmu ngene iki (dik..penisku ngaceng tiap telpon kamu seperti sekarang). Bude ya bilang halah..ono-ono ae mas (ahh..mas ini ada-ada aja)”. “Ya rata-rata gitu bude kalo ada perasaan..gampang naik..hehe”, jawabku sambi menatap plafon. “Pernah juga bilang awakmu tambah seger ae dik..ndemenakno (badanmu tambah seger aja dik..menggairahkan). Bude terus bilang wah..koyok arek enom ae rayuane mas (wah..seperti anak muda aja ngrayunya mas)”. “Namanya juga sedang seneng bude..”. Kurasakan arah obrolan mulai menjurus dewasa. Mau nggak mau kemaluanku mulai bergerak kembali. “Jangan marah ya bude..” “Marah kenapa mas..” “Gini..umpama jadi. Kayaknya pak Didik cuma 5 menit paling lama..”. “Ahh..mosok sih mas (ahh..masak sih mas). Wong dia rajin olahraga dan nggak pernah main perempuan..”, bude kaget lalu memiringkan tubuhnya ke kanan. “Yaa ngg tau sih bude..itu yang tak liat..”. “Waduh..terus gimana baiknya mas Iwan..bude kan nggak pengen cepet gitu..”. Raut wajah bude terlihat sedih. “Maaf bude..lebih baik aku ngomong jeleknya sekarang. Daripada nanti bude ngarepnya hot ternyata nggak kan kecewa’.
“Iya sih..terus gimana mas..” “Ya nyari orang bisa mijet bude. Biar urat dan syaraf-syarafnya diatur lagi. Kalo bude sih nggak gitu perlu”, aku menjawab sesekali dengan miring ke kiri. Aku nggak mau terlihat mulai hangat wajahku. “Mas Iwan nggak bisa mijet?” “Bukan bidangku bude..hehe. Kalo sekedarnya aja bisa. Ngilangin pusing atau capek. Tapi nggak terlalu bisa”. “Dipijet mananya mas?” Kuraih tangan kanannya lalu kuurut telapaknya, tanpa terbersit lebih jauh. “Aduh..sakit mas..itu kenapa?” “Mungkin bude capek, juga karena ada masalah ini”. “Hm..mungkin juga. Terusin mas..udah nggak terlalu sakit. Sebentar..tak ambil lotion dulu”. Otak dan hatiku saling mendahului. “Piye iki..nek pijete keterusan..(gimana nih..kalo mijatnya keterusan)”. “Nek sampe kedaden yo wes..sing penting gak ono sing curiga (kalo sampe kejadian ya udah..yang penting nggak ada yang curiga)”. Sinar lampu telah berganti 10 watt sejak kita masuk kamar. Kembali bude berbaring di kiriku. Aku beranjak bangun karena tidak mungkin memijat dengan berbaring. Kutuang sedikit body lotion di tangan kanan atas lalu kuurut pelan-pelan. Bergantian dengan yang kiri. Beruntung lengan bude tidak tertutup daster sebab bakal susah untuk menggulungnya. Bude menatap langit-langit, sesekali mengernyitkan dahi tanda merasa sakit.
Aku mendekatinya,”nuwun sewu bude..dahi sekarang (permisi bude..dahi sekarang)”. “Hm..iya..nggak apa-apa mas..”. Bude memejamkan mata. Kuurut pelan dengan posisiku yang bersimpuh di dekatnya. Kemudian aku hentikan. “Lho kok berhenti mas..pundaknya nggak sekalian?” “Pundak juga bude?” “Iya..sekalian aja..”. Bude lalu telungkup dengan kepala menghadap kanan. Guling yang ditengah aku singkirkan. Kedua lengan bude aku letakkan sedikit menjauh di sisi tubuhnya. Dag dig dug makin terdengar kencang. “Nuwun sewu bude..(permisi bude..)”, lalu aku berada di atas bokongnya tapi masih berjarak lumayan. “Nggak apa-apa mas..gimana enaknya aja..” “Hmm..iki gak ono opo-opo opo pancingan..? (hmm..ini memang nggak ada apa-apa atau sedang memancing aku?)” “Beres bude..hehe..”, aku bercanda untuk mengurangi gugup. Kuurut dan pijat pundaknya. Lalu kembali lengan kiri dan kanan hingga kurasa cukup. Nafas bude teratur naik turun, mungkin sudah tertidur. Tapi ketika aku akan turun,”kaki sampe atas juga ya mas..nanggung. Besok bude traktir deh..”. Ternyata bude belum tidur. “Nggih bude..terserah bude (ya bude..terserah bude). Ya ngg usah nraktir bude..kayak sama siapa aja..hehe”. “Waduh..makin deg deg ser ngene keadaane (waduh..makin deg deg ser gini keadaannya)”. Aku mulai memijat dan urut dari kaki kanan lalu berganti yang kiri. Belum berani naik ke paha.
Dua detik aku berpikir, lanjut ke paha atau selesai. Kepalang tanggung. Bude sudah memberi ijin. Kalau sampai terjadi persetubuhan aku berharap tidak terjadi permasalahan di kemudian hari. Aku gulung dasternya pelan-pelan ke atas hingga setengah paha. Kemudian aku bersimpuh di tengah dua kakinya. Kemaluanku mulai bangun. Body lotion kutuang langsung di paha kiri dan kanan lalu kuurut pelan. Dalam kondisi sudah sedemikian aku masih menahan untuk tidak mengurut sampai ke bokongnya. Kembali kuurut dari kaki terus ke paha. Kuputuskan menggulung daster hingga ke pinggang bude. Celana dalam bude warna coklat muda. Bentuk bokongnya masih mengkal. Kemaluanku sudah 80% yang sebisanya kutahan untuk full ngaceng. Dari paha kanan dan kiri kuteruskan mengurut hingga dua bulatan bokongnya, menyisip di tepian celana dalam. Sesekali aku memijat dan meremas bokongnya, bukan mencari kesempatan tetapi memang salah satu teknik pemijatan. Aku sempatkan melihat reaksi bude. Ternyata seprai yang ada di dekat tangannya diremas sedikit saat aku memijat dan meremas bokongnya. Aku berpikir wajar saja karena sejak ditinggal suaminya bude belum pernah disentuh dalam bentuk apapun.
Isengku kumat. Jempol kiri dan kanan sesekali aku usapkan di belahan pantat bude. Dan pantat bude sedikit terjingkat. “Hmm..salah satu titik erotisnya bude itu..Bah wes..diseneni opo gak tak coba’e luwih nakal. Nek pancen bude gak opo-opo berarti bengi iki aku kelonan.. (biarin aja..dimarah atau nggak aku coba aja yang lebih nakal. Kalo sampe bude nggak apa-apa berarti malam ini aku bisa tidur bersama)”, sesungging senyum setan terlihat di wajahku. “Sebentar ya bude..”, lalu aku turun dari tempat tidur. Bude tidak menjawab, mungkin sudah benar-benar tidur. Aku lepas celana pendek model karet dan kuturunkan celana dalamku, aku letakkan di samping tasku. Lalu kupakai kembali celana pendekku. Posisiku sekarang di atas bokongnya, kurapatkan dua pahanya. Aku turunkan retsluiting belakang daster bude. Aku pijat dan urut punggungnya. Tanpa meminta persetujuan bude aku tarik kait behanya..tess. Kemudian lotion kutuang lalu kuusap dan urut punggungnya. Aku jalankan dua telapak tanganku hingga ke sisi kiri dan kanan tubuh bude. Dua tiga kali sengaja aku sentuh sisi payudara kanan dan kiri. Remasan tangan bude di seprai makin mengencang. Aku gulung daster bude hingga ke punggung. Kemudian penutup pundak aku lepas satu persatu. Kondisi bude sudah 90% telanjang. Tanganku yang mengurut bokongnya serta menyentuh belahannya makin kuintesifkan. Bude pun makin sering meninggikan bokongnya.
Entah bude mendengar atau tidak, aku melepas kaos dan celana pendek. Dua pahaku aku lumuri dengan body lotion. Lalu aku tempatkan penis ditengah-tengah bokong bude yang masih tertutup. Aku memaju mundurkan tubuh bawahku dengan lancar. Sudah saatnya beraksi, entah bagaimana nanti reaksi bude. “Ohh..hmm..”, terdengar lirih erangan bude. Cengkeraman tangannya di seprai makin mengencang. Penisku sudah ngaceng sempurna. Sesekali aku remas keras bokongnya. Kuturunkan kepalaku lalu berbisik,”bude suka..?kalo nggak aku berhenti sekarang”, sambil masih kugerak-gerakkan pinggangku. Tidak ada jawaban. Sedetik kemudian aku turunkan celana dalam bude. Ketika akan sampai di bawah bokong tanpa kuminta bude mengangkat sendiri. Kutepuk pelan bokongnya ketika telah terbebas. Kembali aku berbisik,”angkat sedikit pinggangnya bude..”. Bude tak bersuara, kepalanya ditenggelamkan di bantal.pinggang bude naik 20cm’an lalu kutahan agar tidak naik lagi. Jembutnya ternyata tidak lebat dan dipotong rapi. Aku renggangkan sedikit pahanya. Bau kewanitaan terhembus di sana. Lidahku menyusuri pelan garis tengah tempeknya. “Ojo masss..isin aku..kotor pisann.. (jangan masss..malu aku..itu tempat kotor jugaa..)”, bude mulai mendesis dengan mengangkat wajahnya dari bantal. Aku jelas tidak menjawabnya. Dua pahanya aku pegang erat. Jilatanku makin cepat. “Mass Iwwwaaannn..ouhhh..nakal kowweee.. (Mass Iwwwannnnn..ouhh..nakal kammmuuu..)”. Kubuka belahan tempeknya ( vaginanya) dan kujilat-jilat. Desiran pendingin ruangan tak mampu mengusir hawa tubuh kami yang mulai menghangat. Tempek bude mulai berasa lebih asin ketika telunjuk kananku mulai ikut meramaikan. Kumasukkan cepat pelan cepat pelan. Dua tiga kali garis anusnya aku usap-usap. “Ahhrrgg..mmmaaasss..”. Lalu kucucup, kuputar-putar lidahku. Pinggang bude aku turunkan. Penisku aku tempatkan di belahan bokongnya. Kugerakkan maju mundur dengan cepat sambil dua tanganku menyusup ke balik dasternya, meremasi dua susu bude. Bude makin menenggelamkan kepalanya di bantal,”oouuffsssttt..ennaakkk mmaasss”. Suara bude tetap terdengar karena tidak ada suara lainnya selain dengus nafas kami serta berkecipaknya pantat bude dan pahaku. Aku hentakkan tubuhku dengan memancarkan spermaku di pinggang hingga punggung bude. Aku tahan suaraku,”aaahhh..ssstttt..”. Lima kali penisku memuncratkan air kenikmatan.
Tarikan nafas kami naik turun dengan tergesa. Kuremas gemas bokong bude. “Aah..genit kowe mass.. (ahh..genit kamu mass..)”. “Salahe bude nggarai kontolku ngaceng..hihi (salahnya bude yang menyebabkan kontolku ngaceng..hii)”. “Lha piye mas..wes suwi aku gak tau didemek uwong lanang (lha gimana lagi mas..sudah lama aku nggak pernah disentuh orang laki). Wes ngono kaet ngomong masalah iku aku mulai terangsang. Tempekku mulai teles..hehe (sudah gitu sejak membahas masalah itu aku mulai terangsang. Vaginaku mulai basah..hehe)”. “Lhaa..bude yo luwih genit tho nek wes ngene..hihi (lhaa..ternyata bude lebih genit kalo sedang kayak sekarang..hihi)”. “Aahh..”, kemanjaan seorang wanita terdengar. “Dastermu tak copot yo bude.. (dastermu aku lepas ya bude..)”. “Heeh mas..copot ae.. (iya mas..lepas aja..)”. Kutarik daster dari atas kepala lalu kuusapkan mengelap spermaku. Kemudian kulepas beha bude. “Dastermu kebes bude..hihi (dastermu basah bude..hihi)”. “Endi..wih iyo..akehe mas pejumu.. (mana coba..eh iya..banyak gini mas air manimu..)”. “Suwi gak tak tokno bude.. (lama nggak aku keluarin bude..)” “Oo..pantes..”. Kurebahkan tubuhku dipunggungnya. Kuusap-usap rambutnya,”matur nuwun yo bude..cup (makasih ya bude..cup)”, kukecup pipi kirinya. Tangan kanan bude mengelus kepalaku,” aku sing terima kasih mas. Lagi iki ngrasakno ngawang maneh (aku yang terima kasih mas. Baru ini aku rasakan lagi badanku melayang)”. Bahasa tubuh bude seperti akan menggeliat. Aku lalu merebahkan diri di kanannya. Bude berbalik badan menghadapku lalu memegang dua pipiku lalu mencium bibirku mesra. Tangan kanannya berjalan ke bawah. “Jik lumayan ngaceng ngene mas..aku pengen mbok leboni mas. Ayo mas..terserah ape sampe isuk aku yo gelem, (masih lumayan ngaceng gini mas..aku ingin kamu masuki mas. Ayo mas..terserah mau sampe pagi aku pasti mau)” sambil mengelus dan mengurut penisku. Kupandang bude Yayuk lalu kugigit bibir bawahnya. Bude membalasnya. “Sabar bude sayang..pasti tak lebokno kontolku ngkok (sabar bude sayang..pasti aku masukkan kontolku nanti). Aku yo pengen ngrasakno dikempit tempikmu.. (aku juga pingin merasakan dijepit vaginamu..),” sambil kuelus-elus klitorisnya. “Emm..mmaass..ayyooo..”, manjanya bude keluar lagi. Kurasakan tempeknya mulai baasah lagi. Mungkin begini rasa seorang wanita yang lama tidak disentuh, cepat naik birahinya.
Sengaja aku tidak langsung menuruti kemauan bude. Ingin kulihat sekuat apa bude bisa menahan birahinya. Aku peluk bude lebih erat. Paha kanan bude menimpa pinggang kiriku. Tempek (vagina) bude yang telah basah terasa di batang kontolku saat bude menggesek-gesekannya. “Ayoo mass..aahhsss..” Susu kanan bude aku remas-remas pelan. Pentilnya yang mulai mengeras kugetar-getarkan kiri dan kanan. Kukecup kecil bibirnya. Tak kusangka tangan kanannya mendekap erat kepalaku lalu bibirku dilumat habis. Bibirku dicium, digigit. Aku mengimbanginya dengan memasukkan lidahku dan kugesek-gesekkan di langit-langit mulut bude, lalu kusedot sekuatku udara didalamnya. “Hhmmppfff..,” suara nafas bude seperti orang dibekap. Ya..dibekap bibir penuh nafsu. Mata bude membesar memberi isyarat kekagetannya dan nafas yg hampir habis. Kuulangi lagi dua kali.
Tangan kanan bude menyusuri punggung lalu meremas gemas bokongku. Tangan kiriku mendekap paha kanannya. Kutekan dan kugerakkan maju mundur pada kontolku agar tempek bude lebih merapat. Leherku disusuri lidah bude, sesekali digigit kecil. “Mass...uuhhh..,” bude berbisik di kuping kiriku. Kuserang bude lebih dalam. Tangan kiriku meremas sebentar bokong kanannya lalu jari tengahnya menyusuri garis tengah bokongnya hingga menyentuh anus bude. “Aauucchh mmmaaasss..geellliii..,” bude berbisik mendesah di kuping kiriku lalu menggigit kecil. Kuputar-putar jari tengah kananku di garis tengah bokongnya serta di lubang anus. Bokongku diremas kuat dan didesakkan pada tempek bude,”uuuhhhh…mmmaaasss..metu manehhh aaakkkuuu… (keluar lagi aku)”. Kucium kuat bibir bude dan dibalas dengan cara sama. Kemudian aku dipeluk rapat-rapat. “Kowe kok pinter ngene sih mas..gak ngiro aku..penak tenan.. (kamu kok pinter gini sih mas..nggak ngira aku..benar-benar enak),” punggungku dielus-elus bude. “Hehe..kan kudu ngono bude.. (kan memang harusnya gitu bude)”. “Hmm..iyo..bejane awakku.. (hmm..iya..beruntungnya aku..)”, lalu bude menciumku dalam. Kuelus-elus rambut bude hingga sejenak kemudian kudengar dengkur halusnya.
Kupandang meja rias berkaca yang tepat diseberang kanan bude. Benar-benar tak kusangka malam ini seranjang dengan wanita setengah baya yang haus akan sentuhan lelaki. Kontolku kembali ke normal besarnya. Kubiarkan bude tidur dulu sambil memikirkan next actionku akan seperti apa. Sudah kutemukan. Kuping kanan bude aku mainkan pelan-pelan lalu kugigit. Belum ada reaksi dari bude. Bibirnya aku cium sedikit-sedikit. Aku tarik bibir bawahnya dengan bibirku lalu kugigit. Lidahku menyusup. “Eemm..” Tubuh bude mulai menggeliat tapi masih terpejam matanya. Lidah bude aku hisap sekali kecil sekali kuat. Mata bude mulai terbuka sedikit dan tersenyum. Tangan kanan bude menyusuri punggung dan bokongku. Kontolku membesar dengan cepat. Kembali jari tengah kananku bermain seperti tadi. Bude menggerak-gerakkan pinggangnya, menyentuhkan tempeknya ke kontolku.
Paha kanan bude aku naikkan hingga melewati pinggang kiriku. Dengan gerakan cepat dan tiba-tiba aku masukkan kontol yang telah membesar sempurna. “Iki tak lebokno kontolku budeee.. (nih sekarang aku masukkan kontolku bude)”. Mata bude membesar lalu terpejam seakan meresapi sungguh-sungguh,”ooohhh..eemmmfff…). Kepalanya sempat terdongak. Leher bude lalu aku jilati dan kugigit kecil-kecil. Tangan kanan bude mendekap erat kepalaku. Kemudian aku gerakkan pelan-pelan kontolku. Dinding tempek bude masih cukup menjepit. Bokong bude aku remas-remas. Kecepatan kontol kutambah dengan dua kali sentakan dalam. “Adduuuhhh maassss..ennaakkkeee.. (enak sekali)” “Hhh..hh..iyo bude. Tempekmu jik nyengkerem pisannn.. (iya bude. Vaginamu masih mencengkeram juga)”. Kemudian bude semakin memiringkan tubuhnya, sedetik kemudian ia menaiki tubuhku tanpa melepas kontolku. Diciumi seluruh wajahku. Bude lalu menggerakkan tubuhnya maju mundur dengan rebah di tubuhku. Seluruh kontolku terbenam. Lalu bude beranjak bangun. Pinggangnya tetap maju mundur. Suatu pemandangan yang termasuk kusukai. Seorang perempuan di atas tubuhku dengan membungkus kontolku di dalam tempeknya, lalu maju mundur.
Bude mendongakkan kepalanya,”aahhh…sssshhhh..”. Kuremas sedikit kuat dua susunya dan pentil-pentilnya kumainkan. Bude lalu mengangkat sedikit bokongnya. Rupanya ia ingin naik turun. Bunyi benturan pahaku dan bokongnya serta basah tempeknya makin terdengar. Punggung bude aku elus-elus. “Ooohh..ooohh..ohhh..”, desah nafsu bude terdengar. Rambutnya tergerai menutupi sebagian wajahnya. Tangan kiriku menggapai kepalanya lalu kucium kuat bibirnya. Bude semakin naik turun dengan cepat. Seluruh bidang tubuhnya aku elus. Bude menatapku,”maassss…”. Tanpa aku bertanya tentu sudah tahu maksudnya. Bokong bude aku pegang erat dan kubantu naik turun. Bude bicara lirih,”aayyooo mmaaasss…tokno barengannn..ooouuuhh.. (keluarin sama-sama)”. Kontolku yang memang sudah sekitar 5 menit ini semakin mengencang tentu akan aku turuti. Kucium lembut bude,”iyo budeee..aku yo ape metu iikkiii.. (iya bude..aku memang mau keluar ini)”. Setelah empat kali bude menghentakkan tempeknya ke kontolku, yang kelima,”uuufffsss…mmmaasss..akkkuu mmettuuu.. (aku keluar)”. Dua tarikan nafas kemudian,”bbuuddeee..aakkuuu muunnccrraaattt (aku keluar)”. Desiran air kenikmatan bude mengaliri batangku, disertai jepitan yang cukup kuat. Tiga kali aku memuntahkan sperma. Tempek bude masih terasa berkedut-kedut. Bude merebahkan tubuhnya. Kupeluk tubuh bude. Pipi kananku dielus-elus,”makasih ya mas..kontolmu enak tenan.. (kontolkmu enak sekali)” “Aku yo matur nuwun bude..uenak iso kelonan ngene (aku juga terima kasih bude..enak sekali bisa tidur bersama gini)”. Bude lalu kugulingkan ke sisi kiriku. Kami berpelukan hingga tertidur.
Mataku terbuka sebentar saat kurasakan ada gerakan disampingku. Kulihat bude bangun dan seperti akan ke kamar mandi. Kulihat jam dinding menunjukkan pukul 3 pagi. Bude menuju kaca rias dulu, mungkin meneliti adakah bekas cupangku di lehernya. Dari kaca rias bude menatapku dan tersenyum. Aku bangun dan menghampirinya. “Nggak aku cupang kok bude..nanti orang-orang tau bisa bahaya,” sambil kupeluk dari belakang. Tangan kanan bude menggapai kepalaku lalu mengelusnya. “Aku tau mas..kita harus jaga itu”. Dua tanganku kembali nakal. Menyusuri perut, dada, bokong bude. Ia menggeliat manja. Kuremas-remas susu bude. Kontolku tanpa kuminta langsung ngaceng. Aku gesek-gesekkan di tempek bude. “Ssshh..aahhh..kamu memang nakkaalll mmasss…”. Kupegang kontolku dengan tangan kanan lalu dengan hentakan lembut kumasukkan ke tempek bude. “Oouufff..kamu pingin lagiii mmasss?” “Kalo bude nggak pingin ya aku keluarin sekarang..” “Aahh..ojo mmasss..nyikso aku kowweee.. (jangan mas..kamu menyiksa aku)”. Kugerakkan cepat pinggangku. Beradunya pahaku dan bokong bude memenuhi kesepian kamar. Dua tangan bude memegang erat meja rias. Sesekali menatapku dengan bibir sedikit terbuka. Tiba-tiba aku hentikan dan pergi ke kamar mandi. “Lho mas..kok mandeg..malah ngalih.. (kok berhenti..malah menyingkir)”, bude bingung sekaligus kecewa. Aku sengaja menggodanya biar makin penasaran.
Aku berhenti di depan bak air setinggi perut. Bude menghampiriku,”kenopo mas kok mandeg? (kenapa mas kok berhenti)” Aku tak menjawabnya. Kupandang bude lalu tertawa dengan menahan agar orang lain tidak curiga,”hihi..sorry bude tak gudo.. (maaf bude aku goda)”. Bude spontan cemberut lalu dua tangannya akan memukulku. Kutangkap lalu kupeluk dan cium bibirnya. Bude lalu meremas-remas rambutku,”jahil kamu masss…”. Kami berciuman panas menjelang subuh di kamar mandi. Sebentar kemudian kubalik badan bude dan kuposisikan menghadap bak mandi. Bude sejenak menoleh menatapku dengan sendu. Cepat kumasukkan kembali kontolku. “Aahhh..,” desah kami hampir bersamaan. Aku gerakkan pinggangku dalam-dalam dan sesekali cepat. Bude menggengam erat pinggir bak mandi.
harapanputra.com
Kulihat sabun cair di sisi kiriku. Aku tuang sedikit dan kucampur dengan air, lalu aku usapkan di dua susu bude. Bude sedikit bergidik karena air bak yang dingin menjelang pagi itu. “Maaasss..,” bude mendesah manja. Dua tanganku makin leluasa menyusuri susu, perut dan tempek bude karena licin. Pentil-pentil bude terasa lebih mengencang. Bokong bude sekarang aku sabuni. Klitoris bude aku elus-elus dengan cepat. Kepala bude menunduk ke bak mandi dan tubuhnya agak doyong ke depan. Aku tegakkan kembali tubuh bude. “Buddeee..aayyooo metttuuu (ayo keluar),” bisikku di kuping kirinya. “Aayyyoo mmaasss..aaassshhhh..”. Kugerakkan makin cepat pinggangku. Dua tanganku menangkupi susu bude dan meremas-remasnya. Cengkeraman tangan bude di bak mandi makin kuat. “Ahhh..buudddeee..ssshhh..”. Tiga detik kemudian,”mmaass..ssaaayyyaaannggg..oouuhhhfff..”. Tanpa bisa kucegah tubuh bude doyong seperti menimpa pinggir bak mandi karena seakan aku tak punya tenaga lagi. Dua tanganku masih menutupi susu bude Yayuk. Aku lalu memeluk perut bude dan mencium bibirnya dari samping kiri. Bude berbalik dan menciumiku mesra lalu memelukku. Tubuh kami basah oleh air dan sabun sepagi itu. Kami saling membersihkan sabun yang masih menempel dengan air tapi diusahakan tidak menimbulkan suara, agar orang rumah tidak curiga. Bude menggandengku menuju tempat tidur. Kami berpelukan bagai sepasang kekasih dalam satu ranjang.
Bersambung :
* kalau mau baca sambungan dari cerita ini klik
share (facebook, google +, blogger dll) dulu maka link sambungan akan muncul. selamat menikmat